Pada Minggu sore, 11 Mei 2025, langit Aceh barat daya masih teduh. Pukul 15.46 WIB, suara azan Ashar berkumandang dari menara-menara masjid. Baru beberapa menit setelah panggilan suci itu selesai menggema, bumi tiba-tiba berguncang. Gempa berkekuatan 6,2 magnitudo mengguncang wilayah Blangpidie dan sekitarnya. Getarannya terasa hingga ke Medan, bahkan beberapa bagian pesisir barat Sumatera.
Peristiwa ini menyisakan renungan mendalam, terutama bagi masyarakat muslim yang meyakini bahwa tidak ada satu pun kejadian di alam semesta ini yang terjadi tanpa izin dan kehendak Allah SWT. Antara azan — panggilan menuju ibadah — dan gempa — guncangan yang menggetarkan bumi — tersimpan hikmah, pesan ilahi, dan isyarat bagi manusia yang masih mau merenungi hakikat hidup di dunia ini.
Azan: Panggilan Keselamatan
Dalam Islam, azan bukan sekadar pengumuman waktu salat. Ia adalah panggilan universal untuk menyembah Sang Pencipta, tanda bahwa kehidupan manusia tidak semata soal duniawi. Azan menyapa manusia lima kali sehari, mengingatkan bahwa di balik kesibukan mencari rezeki dan memenuhi ambisi, ada kewajiban ruhani yang tak boleh dilupakan.
Ketika azan Ashar berkumandang pada 11 Mei itu, ia membawa pesan damai dan ajakan untuk kembali kepada Allah. Barangkali, bagi sebagian orang, azan itu hanya suara latar di sela rutinitas. Namun siapa sangka, hanya beberapa menit setelahnya, bumi yang selama ini diam, menggeliatkan amarahnya.
Gempa: Isyarat Kekuasaan Allah
Dalam Al-Qur'an, gempa bumi (zalzalah) beberapa kali disebut sebagai bentuk peringatan sekaligus tanda kebesaran Allah SWT. Salah satunya dalam Surah Al-Zalzalah:
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: ‘Apa yang terjadi padanya?’ Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya…” (QS. Az-Zalzalah: 1-4)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa bumi bisa saja mengungkapkan “berita” yang selama ini tersembunyi — kemaksiatan, kezhaliman, kerusakan, dan ketidakadilan yang dilakukan manusia di atasnya. Gempa adalah peringatan langsung dari Allah agar manusia berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, merenungi makna keberadaan, dan kembali kepada jalan kebenaran.
Waktu yang Tidak Kebetulan
Fakta bahwa gempa terjadi hanya 11 menit setelah azan Ashar bukanlah kebetulan belaka. Mungkin bagi ilmuwan, ini bisa dijelaskan lewat pergeseran lempeng bumi atau aktivitas seismik. Tapi bagi seorang muslim, waktu-waktu tertentu memiliki nilai spiritual yang sangat kuat.
Dalam hadis disebutkan, waktu antara azan dan iqamah adalah saat paling mustajab untuk berdoa. Sementara sore hari menjelang maghrib adalah waktu di mana doa-doa malaikat dan manusia diangkat ke langit. Bisa jadi, gempa itu adalah pesan agar kita memanfaatkan waktu mustajab itu dengan sebaik-baiknya, bukan justru lalai.
Tafsir Kehidupan dari Dua Peristiwa
Jika direnungi lebih dalam, azan dan gempa pada hari itu seperti dua sisi mata uang. Azan memanggil manusia untuk tunduk kepada Allah, sementara gempa mengingatkan manusia bahwa mereka sama sekali tidak punya kuasa atas bumi yang dipijaknya.
Peristiwa itu mengajarkan bahwa hidup ini fana, dunia ini rapuh, dan manusia hanyalah tamu yang suatu saat akan dipanggil kembali. Betapa sering kita menyia-nyiakan waktu-waktu salat, betapa mudahnya manusia sombong atas capaian duniawi, seolah-olah hidup ini kekal.
Gempa di Aceh 11 Mei itu seakan menjadi bisikan lembut dari Allah: “Wahai hamba, ingatlah Aku, karena kapan saja Aku bisa guncangkan hidupmu tanpa peringatan.”
Doa dan Muhasabah
Dalam tradisi Islam, saat gempa terjadi, Rasulullah SAW menganjurkan membaca:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan dari gempa ini dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya."
Doa ini bukan sekadar permohonan keselamatan fisik, tapi juga permohonan agar hati kita dijaga dari kelalaian dan kemaksiatan yang bisa mengundang bencana lebih besar.
Aceh dan Simbol Sejarahnya
Aceh, negeri yang dulu dijuluki Serambi Mekkah, sudah kenyang dengan pelajaran dari alam. Mulai dari konflik bersenjata, tsunami dahsyat 2004, hingga gempa 2025 ini, seolah menjadi catatan sejarah bahwa negeri ini terus diingatkan agar tak berpaling dari nilai-nilai agama dan adat yang luhur.
Namun, apakah kita sudah benar-benar mengambil pelajaran? Atau masih saja sibuk dengan urusan kekuasaan, politik, dan materi? Azan dan gempa di hari itu adalah pesan yang barangkali terakhir sebelum peringatan yang lebih keras.
Penutup: Renungan Bagi Umat
Peristiwa 11 Mei 2025 bukan sekadar catatan BMKG atau berita headline. Ia adalah peringatan ilahi, tafsir kehidupan yang harus kita baca dengan hati, bukan sekadar mata.
Azan yang memanggil dan gempa yang mengguncang adalah dua cara Allah menyapa hamba-Nya: lewat kelembutan suara panggilan-Nya dan getaran bumi di bawah kaki kita.
Semoga kita bukan termasuk golongan yang hanya tersentak sesaat lalu kembali lalai. Sebab, Allah berfirman:
“Dan tidaklah Kami mengirimkan tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti (hamba-hamba Kami).” (QS. Al-Isra: 59)
Mari jadikan peristiwa itu sebagai muhasabah kolektif. Kita perbaiki diri, tegakkan kembali nilai-nilai agama dalam keluarga, masyarakat, dan negeri ini. Karena bisa jadi, panggilan berikutnya tak lagi berupa azan, tapi bencana yang lebih dahsyat.
Wallahu a’lam.