Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Peran Saudagar Aceh untuk Jakarta: Dari Warisan Perdagangan ke Diplomasi Budaya Ekonomi

Minggu, 25 Mei 2025 | 11:05 WIB Last Updated 2025-05-25T04:05:53Z




Oleh: Azhari 

Di balik riuhnya Jakarta yang tak pernah tidur, ada jejak-jejak samar saudagar Aceh yang dulu turut memberi warna dalam denyut nadi kota ini. Di masa silam, pelabuhan Sunda Kelapa pernah menjadi simpul pertemuan para saudagar dari berbagai penjuru Nusantara, termasuk dari Serambi Mekkah. Saudagar Aceh tak hanya datang membawa rempah dan kain tenun, tapi juga nilai, adat, dan identitas kebangsaan. Sayangnya, di zaman modern, peran itu perlahan memudar — dan inilah saat yang tepat untuk kembali merefleksikan peran saudagar Aceh dalam percaturan ekonomi Jakarta, sekaligus posisi strategisnya untuk diplomasi budaya ekonomi.

Dulu Saudagar, Sekarang Siapa?

Di masa Kesultanan Aceh, saudagar bukan sekadar pedagang. Mereka adalah duta kebudayaan, penyambung diplomasi antar kerajaan, bahkan penyebar agama dan adat. Saudagar Aceh mengarungi lautan hingga ke Batavia, membawa hasil bumi, rempah, emas, bahkan buku-buku agama. Kehadiran mereka memperkuat relasi antar daerah, membuka akses ekonomi, dan mengenalkan Aceh sebagai bangsa dagang yang bermartabat.

Namun kini, pertanyaannya: di mana para saudagar Aceh di Jakarta? Apakah peran itu masih hidup, atau tinggal catatan usang dalam buku sejarah? Realitas hari ini menunjukkan, saudagar Aceh di Jakarta lebih banyak sebagai perantau individu daripada sebagai kekuatan kolektif ekonomi. Potensi besar komunitas dagang Aceh seolah terpinggirkan di tengah hegemoni konglomerat besar yang menguasai pasar ibu kota.

Mengapa Harus Ada Saudagar Aceh di Jakarta?

Jakarta bukan sekadar pusat ekonomi nasional, tapi juga ruang distribusi pengaruh sosial, budaya, dan politik. Kehadiran saudagar Aceh di Jakarta sebetulnya bukan hanya soal mencari keuntungan materi, melainkan juga menjaga eksistensi Aceh dalam percaturan nasional. Saat saudagar-saudagar daerah lain seperti Minang, Bugis, Batak, hingga Tionghoa mampu membangun jejaring ekonomi dan sosial-politik di Jakarta, Aceh nyaris kehilangan ruang itu.

Padahal, secara historis, Aceh memiliki komoditas unggulan yang bisa bersaing di ibu kota: mulai dari kopi arabika Gayo, hasil laut, kerajinan tradisional, hingga potensi pariwisata halal dan budaya Islami. Jika dikelola dengan baik oleh jaringan saudagar Aceh di Jakarta, hal ini tak hanya akan mengangkat ekonomi daerah, tapi juga memperkuat posisi tawar Aceh dalam relasi pusat-daerah.

Jakarta Butuh Saudagar Aceh, Aceh Butuh Jakarta

Hubungan ini seharusnya bersifat mutualistik. Jakarta sebagai pasar utama dan pusat distribusi nasional butuh variasi produk unggulan dari daerah, sementara Aceh butuh akses dan panggung nasional untuk memperluas pasar dan memperkenalkan identitas ekonominya. Saudagar Aceh seharusnya menjadi jembatan itu.

Lebih jauh lagi, peran saudagar Aceh di Jakarta bisa menjadi alat diplomasi budaya ekonomi. Lewat produk, usaha kuliner, pusat oleh-oleh khas Aceh, dan event budaya, citra Aceh bisa ditampilkan dalam wajah yang damai, kreatif, dan progresif — bukan semata daerah konflik atau wilayah konservatif.

Apa yang Perlu Dilakukan?

  1. Revitalisasi Komunitas Saudagar Aceh di Jakarta. Harus ada wadah resmi atau semi-resmi yang menaungi para pelaku usaha Aceh di Jakarta, yang tak sekadar berorientasi bisnis, tapi juga peduli sosial, budaya, dan politik kebangsaan.

  2. Membuka Akses Investasi dan Kemitraan. Pemerintah Aceh, diaspora intelektual, dan saudagar di Jakarta perlu bersinergi membuka peluang investasi daerah melalui kegiatan expo, pameran, dan forum bisnis di Jakarta.

  3. Membangun Branding Kolektif Produk Aceh. Tak cukup hanya kopi Gayo atau keripik pisang. Harus ada branding besar bahwa Aceh adalah “Pusat Produk Halal Nusantara” atau “Serambi Produk Islami Indonesia” di Jakarta.

  4. Memperluas Diplomasi Budaya Ekonomi. Lewat restoran, galeri budaya, event festival Aceh di Jakarta, hingga film dokumenter, wajah Aceh bisa tampil elegan dan modern tanpa meninggalkan identitasnya.

Penutup: Saatnya Saudagar Aceh Bangkit di Jakarta

Sudah saatnya saudagar Aceh di Jakarta tak hanya menjadi individu yang bergerak sendiri-sendiri, tapi membangun jaringan kolektif, menjadi kekuatan ekonomi sekaligus perekat sosial budaya. Di tangan saudagar, nama Aceh bisa kembali harum di pusat ibu kota — bukan karena konflik, tapi karena kontribusi dan gagasan besar.

Refleksi ini sepatutnya menjadi alarm bersama. Bahwa jika Aceh ingin dikenal, dihargai, dan diperhitungkan, salah satu jalannya adalah lewat kekuatan ekonomi di Jakarta. Dan siapa yang paling pantas memulai kalau bukan para saudagar Aceh itu sendiri.