Di balik gemerlap kemajuan zaman, di antara gegap gempita pembangunan, ada satu luka sosial yang masih terus menganga: kekerasan terhadap perempuan. Luka itu kadang tampak di permukaan lewat berita-berita duka, namun jauh lebih sering tersembunyi di balik tembok rumah, ruang kerja, bahkan institusi keagamaan dan sosial yang semestinya menjadi pelindung.
Perempuan, yang sejak awal diciptakan sebagai pendamping, ibu, guru kehidupan, justru kerap menjadi korban ketidakadilan, kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga ekonomi. Dan ironisnya, sebagian masyarakat masih menganggap itu hal biasa, bagian dari “urusan rumah tangga”, atau konsekuensi dari budaya patriarki yang sudah turun-temurun.
Kekerasan yang Tak Selalu Terlihat
Kekerasan terhadap perempuan tak selalu dalam bentuk lebam di wajah atau luka di tubuh. Banyak perempuan yang setiap hari dipukul harga dirinya, direndahkan mentalnya, dibatasi ruang geraknya, atau dipaksa tunduk atas nama adat dan kehormatan keluarga. Kekerasan verbal, kontrol berlebihan, ancaman mental, bahkan pembatasan ekonomi sering terjadi tanpa dianggap kekerasan.
Sebagian besar korban memilih diam. Bukan karena rela, tapi karena takut, malu, atau tidak tahu ke mana harus mengadu. Apalagi dalam masyarakat yang masih memandang aib lebih berat daripada keadilan, perempuan korban kekerasan sering kali disalahkan. Dituding sebagai pemicu masalah, atau dianggap mempermalukan keluarga jika berani melapor.
Padahal, setiap bentuk kekerasan sekecil apa pun adalah kejahatan. Ia merampas hak dasar perempuan untuk hidup aman, bermartabat, dan bebas dari ketakutan.
Peran Hukum: Pelindung atau Sekadar Formalitas?
Di atas kertas, hukum di negeri ini telah menyediakan berbagai payung perlindungan bagi perempuan. Ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), hingga aturan pidana umum.
Namun, faktanya di lapangan, hukum seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Proses pelaporan yang rumit, aparat penegak hukum yang kurang sensitif gender, stigma sosial, hingga tekanan dari pelaku atau keluarga membuat banyak kasus berakhir tanpa keadilan.
Sebagian perempuan yang berani melapor pun harus menghadapi proses panjang, pemeriksaan yang melelahkan, hingga penghakiman sosial. Tak jarang, korban justru dipaksa damai atas nama harga diri keluarga atau ancaman ekonomi. Inilah ironi hukum kita: aturan ada, tapi keberpihakan kerap lemah.
Masyarakat yang Masih Terkungkung Patriarki
Di banyak wilayah, kekerasan terhadap perempuan tetap lestari karena dibungkus oleh budaya patriarki yang kuat. Perempuan dianggap subordinat, objek, pelengkap laki-laki, yang harus patuh tanpa boleh banyak bicara.
Ketika terjadi kekerasan, respons masyarakat sering kali bukan empati, melainkan tudingan: “Pasti si perempuan salah, terlalu keras kepala, terlalu banyak menuntut, kurang taat.” Stigma inilah yang membuat perempuan korban kekerasan enggan bersuara.
Masyarakat kita masih perlu banyak belajar bahwa melindungi perempuan bukan hanya tugas hukum, tapi juga tanggung jawab moral bersama. Karena saat seorang perempuan teraniaya, sesungguhnya yang terluka adalah peradaban itu sendiri.
Refleksi dan Harapan
Sudah saatnya kekerasan terhadap perempuan tak lagi dianggap sebagai urusan privat atau aib keluarga. Setiap kasus harus dipandang sebagai pelanggaran kemanusiaan yang mengancam nilai-nilai sosial dan moral bangsa.
Hukum harus ditegakkan dengan tegas dan berpihak pada korban. Aparat penegak hukum perlu dilatih memiliki perspektif gender yang kuat, memahami trauma korban, dan memastikan proses hukum berjalan tanpa diskriminasi.
Di sisi lain, masyarakat perlu membangun kesadaran bersama bahwa perempuan bukan manusia kelas dua. Ia punya hak yang sama untuk dihargai, didengarkan, dan dilindungi.
Kita perlu menanamkan nilai bahwa rumah adalah tempat aman, bukan penjara bagi perempuan. Bahwa adat, budaya, dan agama tidak pernah membenarkan kekerasan dalam bentuk apa pun. Dan bahwa laki-laki yang sejati bukan yang mendominasi, melainkan yang melindungi.
Penutup
Kekerasan terhadap perempuan adalah noda di hati bangsa. Selama kita masih membiarkan, selama hukum masih setengah hati, selama masyarakat masih diam, maka luka itu akan terus berdarah.
Semoga refleksi ini menjadi pengingat, bahwa perempuan bukan hanya korban yang harus dikasihani, tetapi manusia utuh yang harus diberi ruang, perlindungan, dan keadilan. Karena di tangan perempuan yang sehat lahir batin, lahirlah generasi yang kuat dan peradaban yang bermartabat.