Oleh: Azhari
Di tengah arus modernitas yang semakin deras, tradisi perjodohan masih berakar kuat di banyak sudut masyarakat. Bagi sebagian orang, perjodohan dipandang sebagai jalan keluar dari keresahan hidup lajang atau sebagai sarana menjaga nama baik keluarga. Namun di balik kerlip pesta pernikahan dan foto-foto bahagia yang disebar di media sosial, tak sedikit kisah pilu yang tersembunyi. Banyak yang akhirnya menyadari, cinta yang dipaksa tumbuh di ladang perjodohan justru berujung penyesalan, luka batin, dan keretakan rumah tangga.
Perjodohan: Tradisi, Tekanan, atau Kehendak?
Perjodohan seringkali lahir dari dua sisi: tradisi dan tekanan. Di banyak keluarga, terutama di lingkungan konservatif, orang tua merasa lebih tahu siapa yang pantas mendampingi anaknya. Dalihnya sederhana: orang tua lebih berpengalaman dan paham siapa yang terbaik. Padahal, pernikahan bukan soal keluarga siapa, seberapa kaya, atau seberapa terpandang. Pernikahan adalah tentang hati yang akan dipikul dua insan seumur hidup.
Tak jarang pula, perjodohan menjadi bentuk kompromi terhadap tekanan sosial. Di usia tertentu, seorang perempuan dianggap ‘terlambat’ menikah, sementara laki-laki dituntut segera ‘menjadi imam’. Situasi ini membuat banyak orang terjebak, rela menerima siapa saja yang datang lewat meja perjodohan demi menyelamatkan nama baik dan memenuhi standar masyarakat.
Bahaya Menikah Tanpa Cinta
Menikah tanpa cinta ibarat membangun rumah tanpa fondasi kuat. Mungkin tampak kokoh di awal, namun retaknya tinggal menunggu waktu. Cinta, dalam arti saling memahami, saling menerima kekurangan, dan saling memberi ruang, adalah syarat mutlak agar rumah tangga bisa berumur panjang.
Ketika pernikahan hanya dilandasi alasan “karena orang tua ingin”, atau “karena malu jika tidak jadi”, maka yang lahir adalah ikatan tanpa ruh. Hari-hari yang seharusnya diisi kebahagiaan justru berubah menjadi rutinitas kosong, saling diam, dan saling menyimpan luka.
Di banyak kasus, pasangan yang dipaksa bersatu melalui perjodohan tanpa restu hati akhirnya menjalani pernikahan hanya sebagai formalitas sosial. Mereka ada di bawah satu atap, tapi jiwanya jauh berkelana. Tak sedikit pula yang akhirnya berselingkuh secara emosional maupun fisik, karena tak menemukan kenyamanan di rumahnya sendiri.
Penyesalan yang Terlambat
Petaka terbesar dari perjodohan yang dipaksakan adalah penyesalan yang datang terlambat. Setelah pernikahan dijalani, barulah muncul kesadaran bahwa sekadar cocok di atas kertas tidak cukup. Bahwa restu orang tua tak bisa menggantikan ketidakcocokan karakter. Bahwa pesta megah dan hantaran mewah tak mampu membeli ketenangan jiwa.
Tak jarang, pasangan yang awalnya menerima perjodohan demi orang tua akhirnya harus menelan pil pahit perceraian. Lebih buruk lagi, ada yang tetap bertahan demi anak atau karena takut aib, meskipun batinnya teraniaya setiap hari. Mereka hidup dalam ketidakbahagiaan yang berlarut, merasa kehilangan diri, dan menyesali keputusan masa lalu.
Antara Ibadah dan Pilihan Bebas
Banyak yang berdalih menikah itu ibadah, jadi siapa saja yang datang harus diterima. Padahal, Islam sendiri menekankan pentingnya ridha hati dan keterbukaan antar calon pasangan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
"Seorang perempuan dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah yang karena agamanya, niscaya engkau beruntung." (HR. Bukhari & Muslim)
Agama mengajarkan memilih pasangan bukan hanya karena penampilan luar, tapi juga kecocokan batin dan visi hidup. Karena ibadah pernikahan yang dijalani tanpa ketulusan hati hanya akan melahirkan penderitaan. Menikah karena paksaan bukanlah ibadah, melainkan ketidakadilan terhadap diri sendiri.
Refleksi: Berhenti Memaksa, Mulailah Mendengar
Kisah-kisah perjodohan yang berujung petaka seharusnya menjadi bahan refleksi bagi orang tua dan masyarakat. Bahwa anak bukan barang titipan yang bisa dipindahtangankan demi gengsi. Bahwa restu bukan berarti pemaksaan. Dan bahwa tidak menikah di usia tertentu bukanlah aib.
Sudah saatnya orang tua lebih banyak mendengar daripada memerintah. Memberi ruang anak untuk menentukan pilihan hidupnya, dengan bimbingan, bukan paksaan. Biarkan cinta itu tumbuh di hati yang rela, bukan di hati yang terpaksa.
Bagi mereka yang pernah terjebak di dalamnya, semoga bisa menjadikan penyesalan sebagai pelajaran, bukan sebagai kutukan. Karena setiap orang berhak bahagia dengan pilihan yang benar-benar berasal dari nuraninya.
Penutup
Perjodohan bukanlah masalah jika kedua belah pihak saling rela dan menerima. Yang menjadi bencana adalah ketika perjodohan dipaksakan atas nama adat, gengsi, atau ketakutan akan aib. Pernikahan tanpa cinta bukan sekadar soal ketidakbahagiaan pribadi, tapi juga bisa menurunkan kualitas keturunan dan merusak tatanan keluarga.
Mari berhenti memaksakan kehendak, dan mulai membangun tradisi baru: pernikahan yang lahir dari hati yang bebas memilih, dengan restu yang tulus, bukan tekanan yang menyiksa.