Oleh: Azhari
Rumah tangga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang menjadi pondasi ketahanan sosial dan moral. Ketika rumah tangga rapuh, imbasnya bukan hanya pada pasangan itu sendiri, tetapi juga pada anak, keluarga besar, bahkan lingkungan sekitar. Dalam konteks masyarakat Indonesia, khususnya Aceh yang menjunjung tinggi nilai adat dan agama, rumah tangga sering kali bukan hanya urusan dua orang, tetapi juga keluarga besar di belakangnya.
Sayangnya, justru di titik inilah sering terjadi gesekan. Campur tangan orang tua dalam rumah tangga anak kerap menjadi pemicu masalah, bukan solusi. Alih-alih meredam konflik, banyak kasus memperburuk keadaan. Terlebih ketika suami — sebagai nahkoda dalam keluarga — gagal memainkan peran sebagai pemimpin, mediator, dan pelindung.
Fenomena Campur Tangan Orang Tua
Dalam budaya timur, termasuk Aceh, ikatan keluarga besar sangat kuat. Saat seorang anak menikah, orang tua merasa tetap berhak ikut mengatur kehidupan anak, bahkan dalam hal-hal kecil. Mulai dari cara mengasuh anak, mengatur keuangan, hingga urusan ranjang, kadang tidak luput dari komentar dan intervensi.
Campur tangan ini bisa bersifat positif jika berupa nasihat bijak yang tidak memaksa. Namun yang sering terjadi, orang tua menanamkan ego, membandingkan menantu dengan anak sendiri, atau bahkan memperkeruh suasana dengan prasangka. Tidak sedikit pernikahan yang runtuh karena orang tua terlalu ikut campur urusan rumah tangga anak.
Peran Suami yang Lemah, Rumah Tangga Kian Retak
Dalam Islam, suami adalah pemimpin dalam keluarga. Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa: 34:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain..."
Sayangnya, banyak suami yang gagal menjalankan peran kepemimpinan ini. Saat terjadi gesekan antara istri dan orang tua, suami justru sering kali lebih condong ke pihak orang tuanya, atau sebaliknya membiarkan masalah tanpa solusi.
Beberapa kesalahan fatal suami dalam konflik rumah tangga meliputi:
- Tidak tegas membela kebenaran ketika istri diperlakukan tidak adil.
- Membiarkan orang tua terlalu mencampuri urusan rumah tangganya.
- Kurang komunikasi terbuka dengan istri.
- Takut dianggap anak durhaka sehingga membiarkan istri terluka.
Sikap abai atau lemah ini memunculkan rasa sakit hati, ketidakpercayaan, dan akhirnya memicu perceraian.
Dampak Keretakan Rumah Tangga
Dampak dari rumah tangga yang rusak karena campur tangan orang tua dan lemahnya peran suami sangat serius. Antara lain:
- Anak menjadi korban konflik orang tua dan kakek-nenek.
- Rasa trauma dan dendam antar keluarga besar.
- Perpecahan sosial di lingkungan sekitar.
- Meningkatnya angka perceraian.
Lebih jauh, anak yang tumbuh di lingkungan penuh pertengkaran berpotensi mengalami gangguan mental, rendah diri, dan mengalami kesulitan membangun hubungan yang sehat saat dewasa.
Solusi: Peran Suami sebagai Pemimpin dan Mediator
Kunci utama meredam konflik rumah tangga akibat campur tangan orang tua adalah ketegasan suami. Suami harus mampu:
- Menjadi pemimpin yang adil dan bijak, bukan sekadar anak yang takut durhaka.
- Bersikap tegas membela kebenaran tanpa memihak secara emosional.
- Mengatur batas yang sehat antara orang tua dan rumah tangganya.
- Membangun komunikasi terbuka dan jujur dengan istri serta orang tua.
- Melibatkan tokoh agama atau pihak ketiga netral jika konflik terus berlarut.
Suami juga perlu terus belajar ilmu agama dan keterampilan rumah tangga. Mengikuti majelis taklim, pelatihan parenting, hingga membaca buku-buku psikologi keluarga akan memperkaya kemampuan suami menghadapi dinamika rumah tangga.
Peran Orang Tua: Sayangi Anak, Jangan Ikut Campur Terlalu Jauh
Orang tua perlu menyadari bahwa setelah anak menikah, mereka telah memiliki keluarga baru yang perlu diberi ruang untuk mandiri. Orang tua cukup memberi nasihat bila diminta atau saat benar-benar mendesak demi kemaslahatan. Islam juga menempatkan peran orang tua sebagai penasihat, bukan pengendali kehidupan anak.
Penutup
Rumah tangga adalah ladang pahala sekaligus ujian. Saat konflik datang, penyelesaiannya tidak cukup dengan cinta, tetapi juga ketegasan, ilmu, dan kepemimpinan yang benar. Campur tangan orang tua yang tidak pada tempatnya hanya akan memperkeruh suasana, apalagi jika suami tidak bisa bersikap.
Sudah saatnya suami di Aceh dan Indonesia berani mengambil peran pemimpin sejati dalam keluarga. Bukan hanya menjadi suami di atas kertas, tetapi menjadi pelindung, pengayom, dan pemersatu. Karena keluarga yang damai bukan yang tanpa masalah, tapi yang mampu menyelesaikan masalah dengan adil dan bijak.
Pemerhati Sosial & Rumah Tangga Islami