Oleh: Azhari
Pernikahan adalah ikatan suci yang tidak hanya menyatukan dua insan, tetapi juga dua keluarga, dua latar belakang, dan dua cara pandang hidup. Sayangnya, di banyak tempat, termasuk di Aceh yang dikenal religius dan kental adatnya, pernikahan masih sering dipandang sebatas prosesi sakral dan simbol status sosial. Aspek-aspek fundamental tentang bagaimana membangun, merawat, dan mempertahankan rumah tangga seringkali diabaikan.
Di tengah era digital yang penuh tantangan, krisis rumah tangga mulai merebak. Perceraian meningkat, konflik dalam keluarga makin terbuka di ruang publik, dan banyak anak tumbuh dalam situasi keluarga yang rapuh. Fenomena ini tidak terjadi tiba-tiba. Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya ilmu pengetahuan yang menjadi fondasi dalam berumah tangga.
Data Perceraian di Indonesia dan Aceh
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat bahwa angka perceraian nasional tahun 2023 mencapai 516.344 kasus, naik 15% dari tahun sebelumnya. Aceh sendiri mencatatkan angka perceraian sebanyak 6.800 kasus di tahun yang sama, meningkat signifikan dibandingkan lima tahun terakhir.
Dari data Mahkamah Syar’iyah Aceh, mayoritas kasus perceraian disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, diikuti oleh faktor ekonomi, campur tangan pihak ketiga, dan ketidakharmonisan dalam keluarga. Semua itu bermuara pada satu akar persoalan: kurangnya ilmu pengetahuan tentang membina rumah tangga.
Mengapa Ilmu Pengetahuan Penting dalam Rumah Tangga?
Dalam konsep Islam, ilmu adalah cahaya kehidupan. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim)
Pernikahan bukan sekadar memenuhi naluri biologis atau status sosial. Ia adalah amanah besar yang memerlukan ilmu:
- Ilmu tentang hak dan kewajiban suami istri.
- Ilmu komunikasi efektif dalam rumah tangga.
- Ilmu menyelesaikan konflik tanpa kekerasan.
- Ilmu parenting dan mendidik anak.
- Ilmu mengelola keuangan rumah tangga.
- Ilmu menghadapi godaan era digital.
Tanpa ilmu, pasangan hanya akan mengandalkan emosi, asumsi, dan kebiasaan lama yang belum tentu relevan atau sehat.
Budaya Menikah Cepat, Belajar Belakangan
Fenomena menikah di usia muda masih cukup dominan di Aceh. Banyak orang tua lebih cepat mendorong anak menikah daripada membekali mereka dengan pengetahuan tentang pernikahan itu sendiri. Padahal, pernikahan dini tanpa kesiapan mental, emosional, dan ilmu pengetahuan sering berujung pada ketidakmampuan mengelola perbedaan, kecemburuan, hingga ketidaksiapan menghadapi beban ekonomi.
Di Aceh, adat sering kali lebih kuat daripada edukasi. Prosesi adat yang mewah, biaya mahar yang tinggi, dan pesta yang meriah dianggap lebih penting dibandingkan pelatihan atau kelas pranikah. Pelatihan pranikah yang diadakan KUA atau lembaga dayah seringkali bersifat formalitas dan belum menyentuh persoalan rumah tangga secara mendalam dan kontekstual.
Konflik Rumah Tangga di Era Digital
Perkembangan media sosial, akses informasi yang tak terbendung, dan gaya hidup modern turut memperumit dinamika rumah tangga. Banyak pasangan muda terjebak dalam persepsi glamor pernikahan tanpa memahami kenyataan di baliknya.
Godaan media sosial, perbandingan gaya hidup, hingga komunikasi jarak jauh tanpa kontrol emosi menjadi sumber konflik baru. Tanpa ilmu tentang cara mengelola emosi, membangun kepercayaan, dan menetapkan batas interaksi digital yang sehat, rumah tangga bisa dengan mudah tercerai-berai.
Dampak Anak dalam Rumah Tangga Tanpa Ilmu
Salah satu korban utama dari rumah tangga yang rapuh adalah anak. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga penuh konflik tanpa penyelesaian sehat cenderung mengalami gangguan psikologis, rendah diri, hingga trauma sosial. Data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Masalah Kesehatan Jiwa (P2MKJ) Indonesia menunjukkan, 28% anak dari keluarga bercerai mengalami depresi dan gangguan perilaku.
Di Aceh, dengan tradisi patriarki yang masih kuat, anak sering kali dijadikan alat tarik-menarik dalam konflik orang tua. Tanpa pemahaman tentang psikologi anak dan teknik pengasuhan yang tepat, anak tumbuh dalam kebingungan identitas dan luka batin yang sulit dipulihkan.
Solusi: Wajibkan Pendidikan Pranikah Berbasis Ilmu dan Budaya
Solusi utama adalah mewajibkan pendidikan pranikah yang bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar menyentuh aspek praktis, psikologis, dan sosial. Kementerian Agama Aceh, Majelis Adat Aceh, hingga ulama dayah perlu bersinergi menyusun modul pelatihan pranikah berbasis nilai Islam, adat Aceh, dan tantangan kekinian.
Materi pelatihan sebaiknya meliputi:
- Seni komunikasi dan manajemen konflik
- Manajemen keuangan keluarga sederhana
- Ilmu tentang hak dan kewajiban pasangan
- Psikologi pasangan dan anak
- Etika bermedia sosial dalam rumah tangga
- Manajemen emosi dan mental health awareness
Pendidikan pranikah ini bisa diterapkan wajib minimal 3 bulan sebelum akad nikah, dan menjadi syarat legalitas pernikahan. Selain itu, konten dakwah tentang keluarga sakinah perlu diperbanyak di media sosial, dayah-dayah, dan komunitas remaja.
Penutup: Cinta Saja Tidak Cukup
Pernikahan memang berawal dari cinta, tapi untuk bertahan, dibutuhkan ilmu. Rumah tangga tanpa ilmu adalah rumah yang dibangun di atas pasir, indah di awal tapi mudah hancur saat diterpa badai.
Aceh sebagai Serambi Mekkah sepatutnya menjadi pelopor pendidikan rumah tangga berbasis ilmu, bukan sekadar tradisi. Jangan sampai cinta yang diharap menjadi surga, justru berubah neraka karena ketidaktahuan.
Sudah saatnya kita kembali menempatkan ilmu di atas segalanya, sebab pernikahan bukan hanya tentang dua orang yang saling suka, tapi tentang dua manusia yang harus belajar saling menguatkan, saling memaafkan, dan saling membesarkan.
Pemerhati Sosial, Budaya & Keluarga Aceh