Sejarah telah mencatat bagaimana Aceh pernah menjadi wilayah yang begitu kuat, disegani, dan diimpikan banyak bangsa. Kekayaan alamnya, letak geografisnya yang strategis di pintu gerbang Selat Malaka, hingga kedudukan politiknya sebagai salah satu kerajaan Islam terkuat di Asia Tenggara membuat Aceh sejak berabad-abad silam menjadi wilayah rebutan dan incaran kekuatan asing.
Dari Belanda, Inggris, Portugis, hingga Jepang, semua pernah menaruh impian besar di tanah Aceh. Bahkan dalam konteks modern, Aceh masih menyimpan daya tarik yang membuat banyak bangsa ingin memanfaatkannya sebagai simpul geopolitik dan jalur ekonomi strategis.
Impian Kolonial yang Tak Pernah Padam
Sejak era kolonial, Aceh telah menjadi sasaran kekuasaan bangsa-bangsa Eropa. Portugis pernah mengincarnya pada abad ke-16, karena Aceh dianggap sebagai penghalang utama dalam menguasai jalur rempah-rempah di Selat Malaka. Ketika Portugis akhirnya gagal, datanglah Belanda yang lebih ambisius. Selama lebih dari 70 tahun, Belanda mengobarkan perang panjang untuk menaklukkan Aceh.
Bagi Belanda, Aceh bukan sekadar wilayah, tapi simbol perlawanan yang bila jatuh ke tangan mereka, maka kekuasaan di Hindia Belanda akan sempurna. Impian itu akhirnya didapat lewat tipu daya politik, infiltrasi, dan manipulasi adat Aceh oleh tokoh seperti Snouck Hurgronje.
Aceh di Mata Dunia Islam
Di masa keemasannya, Aceh bukan hanya diimpikan oleh bangsa kolonial, tapi juga oleh umat Islam dunia. Kerajaan Turki Utsmani pernah menjadikan Aceh sebagai sekutu istimewa di wilayah timur. Bagi Turki, Aceh adalah pintu benteng Islam di Asia Tenggara. Hubungan ini dibuktikan dengan kiriman meriam, pasukan, dan utusan kerajaan dari Istanbul ke Kutaraja.
Impian Turki Utsmani adalah menjadikan Aceh sebagai basis pertahanan Islam untuk mengimbangi kekuatan Portugis yang menguasai Malaka. Sayangnya, karena jarak dan kendala logistik, impian itu perlahan terkubur seiring melemahnya kekuatan Turki Utsmani sendiri.
Aceh Pasca Modern: Dari Geopolitik hingga Ekonomi
Di era modern, Aceh tetap menjadi impian bangsa-bangsa lain, meski dengan wajah yang berbeda. Kali ini bukan soal penjajahan senjata, melainkan penjajahan ekonomi dan sumber daya. Letak Aceh yang strategis di jalur perdagangan internasional membuatnya dilirik sebagai lokasi potensial untuk pelabuhan internasional, kawasan industri strategis, hingga basis energi terbarukan.
Perusahaan-perusahaan asing dalam bidang perminyakan, gas, hingga perkebunan sawit masuk ke Aceh. Banyak yang membangun jaringan ekonomi dengan dalih investasi, tetapi pada kenyataannya lebih banyak membawa keuntungan ke luar Aceh daripada membangkitkan ekonomi rakyat setempat.
Aceh dalam Narasi Impian Negara-Negara Regional
Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura pun pernah bermimpi menguasai Aceh secara ekonomi. Pelabuhan Sabang pernah diusulkan menjadi pelabuhan bebas internasional, yang digadang-gadang bisa menyaingi Pelabuhan Singapura. Sayangnya, gagasan itu lebih banyak jadi agenda bangsa lain ketimbang kepentingan rakyat Aceh.
Bahkan di sektor pariwisata, Aceh juga sering dijadikan destinasi eksotik untuk wisatawan mancanegara, tanpa sepenuhnya melibatkan dan memberdayakan masyarakat lokal. Banyak potensi wisata alam, budaya, dan sejarah Aceh yang dikelola investor luar dengan keuntungan yang lebih banyak lari ke kantong investor ketimbang masyarakat Aceh sendiri.
Saatnya Aceh Menentukan Mimpinya Sendiri
Aceh harus belajar dari sejarah. Terlalu lama Aceh menjadi wilayah yang diimpikan bangsa lain, tapi lupa membangun impiannya sendiri. Kekayaan alam, sejarah panjang perlawanan, syariat Islam yang terjaga, serta budaya yang luhur, harus menjadi pondasi Aceh membangun impian untuk bangsanya sendiri, bukan sekadar menjadi objek bagi bangsa lain.
Aceh butuh pemimpin-pemimpin yang tidak mudah tergiur oleh investasi asing tanpa syarat, pemuda-pemuda yang berani menciptakan ekonomi mandiri, dan rakyat yang sadar bahwa kesejahteraan tidak akan datang dari impian bangsa lain, melainkan dari kerja keras dan cita-cita rakyat Aceh sendiri.
Impian bangsa lain tentang Aceh akan selalu ada. Tapi Aceh punya pilihan: menjadi pelengkap impian orang lain, atau menjadi pemilik impian bagi masa depannya sendiri.
Aceh tidak boleh lagi jadi halaman belakang negeri orang. Saatnya Aceh berdiri di halaman depannya sendiri.