Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Bawah Bayang Penjajahan: Potret Luka Bernama Devide et Impera

Kamis, 05 Juni 2025 | 12:37 WIB Last Updated 2025-06-05T05:37:51Z



Sesama Anak Bangsa di 

Oleh: Azhari 

Ada sebuah foto tua, diambil sekitar tahun 1880 oleh fotografer kolonial di Hindia Belanda. Di dalamnya, berdiri seorang polisi Hindia Belanda dari suku Jawa, gagah berseragam lengkap dengan senjata dan tanda pengenal di dada. Di sampingnya, seorang pria — juga dari suku Jawa — berdiri membelakangi kamera, tangan terikat, diikatkan dengan tali ke tubuh sang polisi. Keduanya lahir dari rahim yang sama: tanah Jawa, tanah Nusantara, tanah ibu pertiwi.

Namun di hadapan kamera, mereka menjadi dua manusia berbeda.
Yang satu mewakili kekuasaan penjajah.
Yang satu menjadi objek kekuasaan.

Potret itu bukan sekadar foto. Ia adalah simbol luka sosial bangsa ini, betapa kolonialisme tidak hanya menaklukkan wilayah, tapi merusak tatanan kemanusiaan, memecah anak bangsa, dan membuat sesama saudara menjadi musuh di bawah sistem kekuasaan asing.

Devide et Impera: Warisan Kejam yang Masih Hidup

Belanda tidak pernah kuat karena jumlah tentaranya. Mereka kuat karena strategi. Salah satunya adalah politik devide et impera — pecah belah dan kuasai. Mereka rekrut pribumi menjadi polisi, tentara, dan pegawai, lalu diperintahkan menindas bangsanya sendiri.

Di Aceh, hal serupa terjadi. Banyak perwira dan prajurit Aceh di zaman kolonial direkrut untuk melawan gerilyawan sesama rakyat Aceh. Mereka dijadikan alat kekuasaan. Dijanjikan pangkat, gaji, dan medali. Tapi di mata penjajah, tetap saja mereka adalah inlander — rakyat kelas dua.

Foto tahun 1880 itu hanyalah sepotong dari kisah besar penjajahan mental. Ketika sistem dirancang agar rakyat tidak saling percaya. Supaya pengkhianatan menjadi lumrah. Supaya penindasan dari anak bangsa kepada bangsanya sendiri bisa dianggap bagian dari tugas.

Jangan Ulangi Luka Itu Hari Ini

Apa yang mengiris hati dari foto itu adalah bukan hanya perbedaan posisi sosial keduanya, tapi bagaimana hingga hari ini, politik devide et impera masih hidup. Kita lihat di pilkada, di DPR, di pemerintahan, bahkan di ormas dan kampus. Sesama anak bangsa diadu domba demi kursi, proyek, dan kuasa.

Bedanya, dulu yang memegang tali adalah penjajah asing. Sekarang yang memegang tali adalah saudara sebangsa sendiri, yang telah dididik untuk melayani kekuasaan, bukan keadilan.

Di Aceh, kita melihatnya saat konflik, saat damai Helsinki, hingga hari ini. Elit diadu untuk kursi gubernur, bupati, DPR. Rakyat dipecah-pecah. Si miskin dijadikan komoditas suara, sementara sang pemilik modal tertawa di belakang layar.

Foto itu adalah cermin.

Refleksi: Dari Kolonialisme Menuju Kemerdekaan Sejati

Kita sering bicara tentang kemerdekaan fisik. Tapi kemerdekaan mental jauh lebih berat. Kita belum sepenuhnya merdeka kalau sesama anak bangsa masih saling mengikat tangan satu sama lain, kalau masih ada polisi, tentara, atau pejabat yang tega menjual rakyatnya sendiri demi jabatan.

Kemerdekaan tidak hanya soal bendera, tapi tentang membebaskan manusia dari rantai sistem ketidakadilan.
Tentang memutus rantai devide et impera dalam segala bentuknya.

Foto 1880 itu mengajarkan, bahwa bangsa ini kuat kalau bersatu. Tapi rapuh jika terus membiarkan sistem adu domba hidup. Kita tidak boleh biarkan sejarah luka itu berulang. Jangan sampai anak cucu kita kelak melihat potret-potret masa kini, lalu berkata:

"Dulu nenek moyangku saling menindas demi kekuasaan."

Jangan biarkan itu terjadi.