Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Canda yang Mendidik, Bukan Menyakiti: Refleksi Etika dan Moralitas dalam Lelucon Sehari-hari

Kamis, 05 Juni 2025 | 12:40 WIB Last Updated 2025-06-05T05:42:12Z



Canda yang Mendidik, Bukan Menyakiti: Refleksi Etika dan Moralitas dalam Lelucon Sehari-hari

Oleh: Azhari 

Hidup tanpa canda itu hambar. Tawa adalah obat paling murah dan mujarab untuk meredakan beban pikiran, mempererat hubungan, dan menumbuhkan kehangatan di antara sesama. Tapi di balik tawa, tersembunyi pula potensi luka jika canda tak lagi dibingkai etika dan moralitas.

Di warung kopi, kantor, sekolah, hingga grup WhatsApp keluarga, canda bertebaran. Kadang lelucon soal fisik, status pernikahan, pekerjaan, atau suku dan agama jadi bahan. Kita sering anggap remeh, karena "kan cuma bercanda". Padahal, tak jarang tawa itu menyisakan perih di hati orang yang jadi bahan candaan.

Di Mana Batas Canda?

Canda itu boleh, bahkan dianjurkan dalam kehidupan. Rasulullah SAW pun dikenal gemar bercanda dengan para sahabat dan keluarganya. Tapi bedanya, candanya penuh adab, tidak berdusta, tidak merendahkan, apalagi menyakiti harga diri orang lain.

Dalam kehidupan modern saat ini, batas antara canda sehat dan canda toksik mulai kabur. Kita terlalu mudah melontarkan humor tentang warna kulit, bentuk tubuh, pekerjaan seseorang, atau status janda/duda. Padahal, apa yang lucu di telinga kita bisa jadi luka di hati orang lain.

Canda yang melewati batas adalah bentuk kekerasan verbal terselubung. Ia mungkin tak meninggalkan lebam di kulit, tapi bisa meninggalkan trauma di batin.

Canda Bukan Alasan Menghina

Berapa banyak kasus di sekitar kita, seseorang dijadikan bahan lelucon karena kegagalannya, kondisi ekonomi keluarganya, atau kesendiriannya di usia tertentu? Berapa banyak orang pura-pura tersenyum, padahal di hatinya tergores, karena dipermainkan dalam tawa?

Etika dalam canda itu penting. Moralitas menjadi pagar agar lelucon tidak berubah menjadi hinaan. Apalagi di era media sosial, di mana satu candaan bisa viral dan merusak nama baik orang lain dalam hitungan detik.

Kadang, canda soal politik, agama, dan keyakinan pun diobral bebas tanpa sadar menyentuh batas privasi yang sakral. Kita harus kembali bertanya: apakah candaku ini sekadar lucu, atau menyakitkan?

Canda yang Mendidik

Seharusnya, canda dijadikan alat untuk menyegarkan suasana, bukan menjatuhkan harga diri. Canda yang baik adalah yang bisa membuat orang lain tertawa tanpa merasa dihina. Bisa menyentil tanpa merendahkan. Bisa mengkritik tanpa mencela.

Canda yang etis itu berpijak pada empati. Kita menakar perasaan orang lain sebelum melontarkan lelucon. Kita menempatkan diri di posisi orang yang dijadikan bahan candaan. Bila kita merasa tak nyaman jika diperlakukan begitu, maka jangan lakukan pada orang lain.

Kembali ke Akar Moral Bangsa

Bangsa kita dikenal dengan adat ketimuran, penuh sopan santun dan etika. Sayangnya, budaya canda kita belakangan mulai kehilangan ruh itu. Televisi, media sosial, hingga panggung hiburan sering mempertontonkan candaan kasar, ejekan fisik, bahkan pelecehan yang dibungkus tawa.

Kita perlu membangun kembali budaya canda yang santun, cerdas, dan mendidik. Mari mulai dari diri sendiri, dari rumah, dari pertemanan kecil. Kita ajak anak-anak muda untuk paham bahwa tidak semua yang bisa ditertawakan pantas dijadikan lelucon. Bahwa kemanusiaan tetap harus dijaga, bahkan dalam tawa.

Maka Canda itu indah. Tapi tanpa etika dan moralitas, ia bisa berubah menjadi racun sosial. Tertawalah, tapi jangan jadikan orang lain korban. Bercandalah, tapi jangan kehilangan adab. Karena sebaik-baik tawa adalah yang menyegarkan hati tanpa menyakiti siapa pun.

Mari kita rawat tawa, dengan adab dan empati.