Di tengah hiruk-pikuk perkuliahan, tugas penelitian, dan kejar angka kredit, ada satu pilar penting dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang seringkali terabaikan maknanya: pengabdian kepada masyarakat. Di atas kertas, setiap kampus menuliskan indah bahwa pengabdian merupakan kewajiban moral akademisi untuk ikut serta menyelesaikan persoalan sosial di sekitarnya. Namun dalam praktik, antara idealisme yang diucapkan dan kenyataan yang dijalankan seringkali terjadi ketimpangan.
Dosen dan mahasiswa seakan berjalan dalam dua jalur berbeda dalam menyikapi pengabdian. Ada yang melihatnya sebagai rutinitas wajib, ada pula yang masih memeliharanya sebagai panggilan hati. Di sinilah letak pentingnya kita melakukan refleksi bersama: sudah sejauh mana pengabdian yang dilakukan benar-benar menyentuh nadi persoalan masyarakat? Atau jangan-jangan, pengabdian sekadar formalitas pelengkap laporan tahunan semata?
Dosen: Ilmuwan Kampus atau Mitra Sosial?
Seorang dosen bukan hanya pelaksana perkuliahan, tetapi seharusnya menjadi teladan intelektual yang mampu membawa ilmunya ke ruang sosial masyarakat. Di banyak daerah, tidak sedikit dosen yang lebih akrab dengan ruang rapat birokrasi kampus dibanding dengan surau di kampung, balai desa, atau posyandu di pinggiran. Padahal, di situlah seharusnya peran seorang dosen hidup.
Kita tidak kekurangan dosen yang pandai membuat proposal, namun kadang miskin gagasan solutif yang benar-benar aplikatif bagi warga. Pengabdian yang dilakukan hanya sebatas seminar sehari, pelatihan tanpa tindak lanjut, atau sekadar pembagian bibit tanaman yang esoknya tak lagi dirawat. Tidak sedikit program pengabdian yang dibuat tanpa riset kebutuhan warga terlebih dahulu. Akibatnya, program itu lebih banyak memuaskan syarat administratif daripada memberi manfaat riil.
Idealnya, dosen menjadi knowledge facilitator, membuka ruang-ruang pemberdayaan, mengajak masyarakat ikut berpikir kritis atas persoalan mereka sendiri. Pengabdian bukan berarti dosen datang untuk 'mengajari', tapi justru hadir untuk belajar bersama, mendampingi, dan memberdayakan.
Sayangnya, beberapa dosen kadang terjebak dalam zona nyaman akademik. Kesibukan penelitian dan kewajiban administratif dijadikan alasan untuk absen dari aktivitas sosial. Bahkan lebih ironis, ada pula yang hanya mengandalkan mahasiswa saat turun ke desa, sementara dirinya cukup menerima laporan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, pengabdian akan sekadar menjadi jargon tanpa makna.
Mahasiswa: Antara Idealisme dan Realita Kehidupan
Di sisi lain, mahasiswa sebagai generasi muda kampus memiliki idealisme yang biasanya masih segar. Ketika awal memasuki perkuliahan, mereka begitu antusias ingin melakukan banyak hal untuk masyarakat: mendirikan taman baca di desa, pelatihan digital marketing untuk UMKM, hingga membuat posko kesehatan gratis di pelosok. Semangat itu hidup di dada mereka.
Namun, realitas kampus kadang tak memberi ruang yang cukup. Tekanan tugas, sistem akademik yang terlalu kaku, hingga biaya hidup yang tinggi perlahan-lahan mengikis idealisme tersebut. Kegiatan pengabdian masyarakat akhirnya lebih sering dijalankan sebagai tugas KKN, bukan panggilan kemanusiaan. Banyak mahasiswa yang turun ke desa hanya sekadar 'melaksanakan program', bukan benar-benar ingin mengenal persoalan masyarakat.
Di sinilah pentingnya kampus sebagai institusi pendidik, bukan sekadar tempat transfer ilmu. Kampus perlu mendesain program pengabdian yang tidak hanya administratif, tapi juga menyentuh sisi humanis mahasiswa. Mahasiswa harus didorong untuk benar-benar mengenal masyarakat sekitarnya, memahami tradisi lokal, kesulitan ekonomi warga, bahkan kondisi sosial yang selama ini tak terjamah.
Sebab sejatinya, mahasiswa tidak hanya dididik untuk bekerja di perusahaan, tapi untuk menjadi pemimpin sosial di masa depan.
Pengabdian Bukan Sekadar KKN
Di banyak perguruan tinggi, pengabdian identik dengan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Mahasiswa dikirim ke desa selama 1–2 bulan, membuat program kerja, lalu kembali ke kampus. Tidak jarang, program itu hanya sebatas membuat plang nama desa, memperbaiki jalan setapak, atau mengadakan lomba 17-an. Setelah selesai, semuanya ditinggalkan tanpa kesinambungan.
Padahal, pengabdian mestinya berbasis kebutuhan masyarakat. Sebelum membuat program, seharusnya dilakukan pemetaan sosial, identifikasi masalah, hingga penyusunan solusi yang mungkin diterapkan. Sayangnya, karena keterbatasan waktu dan minimnya pendampingan dosen, mahasiswa hanya sebatas 'menjalankan tugas'.
Idealnya, pengabdian harus bersifat berkelanjutan. Kampus dapat membangun teaching village atau desa binaan, di mana mahasiswa, dosen, dan masyarakat bekerjasama dalam program jangka panjang. Misalnya, pemberdayaan ekonomi ibu rumah tangga dengan pelatihan produksi keripik singkong dan pemasaran online, pembinaan literasi anak-anak desa, atau program konservasi lingkungan berbasis kearifan lokal.
Kampus Harus Hadir di Tengah Masyarakat
Sebuah perguruan tinggi sejatinya bukan hanya tempat mencetak sarjana, tapi juga agen perubahan sosial. Ilmu yang dipelajari mahasiswa dan diteliti dosen harus bisa menjawab persoalan masyarakat. Jika tidak, maka kampus hanya menjadi menara gading yang jauh dari realitas.
Kampus bisa menjadi pusat pengembangan desa digital, klinik konsultasi hukum gratis, pusat pelatihan pertanian organik, atau media literasi anti-hoaks bagi masyarakat. Mahasiswa bisa menjadi relawan literasi di pelosok desa, mendampingi UMKM dalam promosi digital, hingga menjadi fasilitator dialog antar komunitas.
Dosen pun bisa berperan sebagai mentor bagi kelompok tani, pelatih guru-guru desa, atau narasumber dalam musyawarah warga. Ilmu yang dimiliki dosen bukan sekadar teori dalam jurnal, tapi harus bisa dipraktikkan untuk menjawab problem di lingkungan sosial.
Penutup: Mengembalikan Marwah Pengabdian
Kini, saatnya kita bersama mengembalikan marwah pengabdian kepada masyarakat. Dosen harus kembali hadir di tengah rakyat, tidak hanya di ruang seminar, tetapi di sawah, di balai desa, di meunasah, di posyandu, dan di tempat-tempat di mana persoalan sosial nyata terjadi.
Mahasiswa pun harus dipulihkan idealismenya, diberi ruang dan peluang untuk berbuat bagi masyarakat tanpa sekadar menunggu tugas KKN. Biarkan mereka belajar langsung dari masyarakat, menyentuh luka sosial, dan merasakan denyut nadi persoalan bangsa.
Sebab, sejatinya, ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Dan pengabdian tanpa keikhlasan hanyalah seremonial belaka.
Di zaman di mana ketimpangan sosial kian nyata, kampus tidak bisa lagi berpangku tangan. Dosen dan mahasiswa harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton. Sudah saatnya Tri Dharma Perguruan Tinggi dijalankan secara utuh: pendidikan, penelitian, dan pengabdian harus berjalan beriringan demi kemaslahatan umat.
Sebab, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.
Azhari
Penulis adalah pemerhati sosial, pengajar di perguruan tinggi, dan aktivis pengabdian masyarakat.