Laksamana Keumalahayati: Pahlawan Lautan dari Tanah Aceh
(1 Januari 1550 – 30 Juni 1615)
Aceh, dalam sejarahnya, tak hanya dikenal sebagai wilayah yang tangguh menghadapi kolonialisme, tapi juga tanah yang melahirkan pemimpin-pemimpin besar — salah satunya seorang perempuan perkasa bernama Keumalahayati. Perempuan yang lebih dikenal dengan sebutan Laksamana Malahayati ini, menjadi sosok penting dalam sejarah maritim Nusantara, sekaligus pelopor kesetaraan gender dalam kepemimpinan militer di masa itu.
Jejak Kepemimpinan dan Keberanian
Lahir pada 1 Januari 1550 di Aceh, Malahayati adalah keturunan keluarga bangsawan dan memiliki latar belakang militer yang kuat. Saat Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah memerintah Kesultanan Aceh (1585–1604), Malahayati diangkat sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana, Panglima Rahasia, sekaligus Panglima Protokol Pemerintah — jabatan yang sangat strategis dan jarang dipegang oleh perempuan di zamannya.
Namun, nama Malahayati benar-benar abadi dalam sejarah saat ia memimpin pasukan Inong Balee, yaitu pasukan khusus yang beranggotakan para janda pejuang yang gugur di medan perang. Pasukan ini tidak hanya berperan menjaga istana, tapi juga aktif di medan tempur, khususnya dalam peperangan di lautan.
Pertempuran Bersejarah Melawan Belanda
Puncak keberanian Malahayati terjadi pada 11 September 1599. Dalam pertempuran sengit di lautan, ia memimpin langsung 2.000 pasukan Inong Balee melawan kapal-kapal Belanda. Di atas geladak kapal, Malahayati bahkan berduel satu lawan satu dengan Cornelis de Houtman, pemimpin armada dagang dan militer Belanda pertama yang datang ke Nusantara. Dalam pertempuran itu, Malahayati berhasil membunuh de Houtman — sebuah pukulan telak bagi ambisi kolonial Belanda saat itu.
Atas keberaniannya, Sultan Aceh memberikan gelar Laksamana kepada Keumalahayati. Gelar ini menjadikannya perempuan pertama di dunia yang tercatat dalam sejarah modern sebagai laksamana angkatan laut.
Warisan Kepahlawanan
Keumalahayati wafat pada 30 Juni 1615, dan dikebumikan di atas bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar. Hingga kini, makamnya menjadi salah satu situs sejarah yang kerap dikunjungi untuk mengenang jasa-jasanya.
Meski tak banyak kutipan resmi yang diabadikan, kisah perjuangan Malahayati tetap hidup dalam ingatan masyarakat Aceh dan Indonesia. Namanya menjadi simbol keberanian, kepemimpinan perempuan, dan semangat perlawanan terhadap penjajahan.
Pelajaran dari Malahayati
Keumalahayati telah membuktikan bahwa perempuan bukan hanya pelengkap dalam sejarah, tapi mampu menjadi penentu arah perjuangan. Ia mengajarkan bahwa keberanian, ketegasan, dan kepemimpinan tidak mengenal batas gender. Kisahnya menjadi inspirasi, bahwa dalam situasi sulit sekalipun, perempuan mampu berdiri gagah, memimpin pasukan, dan mengukir sejarah.
Maka Hari ini, nama Malahayati diabadikan di berbagai tempat — dari nama pelabuhan, rumah sakit, hingga perguruan tinggi. Lebih dari sekadar nama, warisan semangatnya harus terus ditanamkan dalam generasi muda, khususnya di Aceh, agar nilai-nilai keberanian, persatuan, dan cinta tanah air tetap hidup.