Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Tantangan Generasi Muda dalam Mencari Kerja di Aceh

Rabu, 18 Juni 2025 | 01:16 WIB Last Updated 2025-06-17T18:16:26Z




Aceh dikenal sebagai daerah istimewa dengan kekayaan budaya, syariat Islam, dan sejarah perjuangan yang panjang. Namun di balik kemuliaan sejarah itu, generasi mudanya kini menghadapi tantangan yang tidak kalah berat: kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak di tanah kelahirannya sendiri.

Di berbagai kabupaten dan kota, dari pusat provinsi hingga pelosok, problem pengangguran dan lapangan kerja menjadi persoalan yang masih menggantung. Setiap tahun, ribuan lulusan SMA, SMK, dan perguruan tinggi dilepas ke pasar kerja, sementara jumlah lapangan kerja yang tersedia justru stagnan bahkan menyusut.

Minimnya Lapangan Kerja dan Ketergantungan terhadap Pemerintah

Salah satu persoalan terbesar di Aceh adalah minimnya sektor industri swasta yang kuat. Berbeda dengan provinsi lain yang punya kawasan industri, Aceh masih sangat bergantung pada sektor pemerintahan, proyek-proyek APBA, dan dana Otsus. Imbasnya, peluang kerja di sektor formal menjadi sangat terbatas.

Setiap kali ada lowongan CPNS atau PPPK, ribuan anak muda berlomba mendaftar, karena itu dianggap satu-satunya pekerjaan bergengsi dan aman. Sementara di sektor swasta, hanya segelintir perusahaan nasional atau lembaga NGO yang bisa menampung tenaga kerja muda. Itupun syaratnya kerap berat dan hanya tersedia di pusat kota.

Pendidikan Tinggi Tak Selalu Sejalan dengan Kebutuhan Pasar

Problem lainnya adalah kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Banyak program studi di kampus-kampus Aceh yang tidak terhubung dengan kebutuhan industri. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi banyak yang menganggur atau harus menerima pekerjaan di luar bidangnya.

Tak jarang, seorang sarjana teknik perminyakan akhirnya menjadi operator warnet, atau lulusan ilmu komunikasi terpaksa bekerja sebagai sales produk harian. Situasi ini tentu membuat potensi generasi muda Aceh tidak tergarap maksimal.

Mentalitas Ketergantungan dan Kurangnya Jiwa Wirausaha

Generasi muda Aceh sebagian besar masih terperangkap dalam mentalitas mencari kerja, bukan menciptakan kerja. Budaya kerja mandiri dan wirausaha masih kurang tumbuh, padahal peluang di sektor UMKM, pertanian modern, industri kreatif, hingga digital sangat terbuka.

Sayangnya, kurangnya akses modal, pelatihan yang berkualitas, dan minimnya dukungan pemerintah membuat potensi ini belum bisa berkembang maksimal. Akibatnya, anak muda lebih memilih merantau ke luar daerah atau luar negeri seperti Malaysia demi pekerjaan kasar, daripada mencoba peruntungan di kampung halaman.

Tantangan Sosial dan Tekanan Kultural

Tak bisa dipungkiri, Aceh masih memiliki tekanan sosial dan kultural yang kuat. Banyak generasi muda harus menghadapi stigma dan ekspektasi masyarakat soal profesi yang dianggap layak. Misalnya, hanya pekerjaan PNS, guru, atau bekerja di kantor pemerintahan yang dianggap sukses. Sementara pekerjaan di sektor informal, UMKM, atau startup digital masih dipandang sebelah mata.

Tekanan keluarga soal menikah muda juga menjadi beban tambahan. Banyak anak muda dipaksa menikah sebelum stabil secara ekonomi, yang justru memperburuk problem pengangguran dan kemiskinan.

Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan revolusi cara berpikir di kalangan generasi muda Aceh. Anak muda Aceh harus berani keluar dari zona nyaman, membangun mental mandiri, dan melihat peluang di luar jalur konvensional. Dunia digital, bisnis kreatif, pertanian organik, budidaya perikanan modern, hingga content creator bisa menjadi ladang rezeki yang menjanjikan jika dikelola serius.

Di sisi lain, pemerintah daerah tak boleh hanya sibuk dengan proyek fisik, tetapi harus serius membangun iklim usaha, membuka akses permodalan, menyelenggarakan pelatihan yang tepat sasaran, dan mendukung tumbuhnya UMKM berbasis anak muda.

Aceh butuh lebih banyak anak muda yang berani mencipta lapangan kerja, bukan sekadar mencari kerja.


Maka Generasi muda Aceh sejatinya memiliki potensi besar. Namun tanpa ekosistem yang mendukung, potensi itu bisa sia-sia. Kita tak bisa terus berharap pada pemerintah semata. Saatnya generasi muda Aceh bersatu, saling mendukung, membangun komunitas, dan berani mengambil resiko. Karena masa depan Aceh ada di tangan anak mudanya sendiri.