Dua dekade sudah Aceh menjalani masa damai. Peristiwa penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 menjadi tonggak berakhirnya konflik bersenjata yang selama hampir tiga dekade meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah. Di waktu yang hampir bersamaan, Aceh juga mengalami luka besar lain — tsunami dahsyat 26 Desember 2004 yang menewaskan lebih dari 200 ribu jiwa dan menghapus ribuan desa dari peta.
Kini, 21 tahun sejak tsunami dan damai itu, muncul sebuah generasi baru. Mereka yang lahir di awal 2000-an atau saat Aceh berangsur pulih, dan kini memasuki usia produktif. Generasi pasca tsunami dan pasca konflik ini memiliki cara pandang yang berbeda terhadap Aceh, terhadap politik, agama, adat, dan masa depan daerahnya.
Pertanyaannya, apa yang telah diwariskan pada mereka? Dan ke mana arah Aceh ke depan?
Aceh Damai: Warisan Tanpa Narasi untuk Generasi
Damai memang telah hadir di Aceh, tapi narasi tentang makna damai dan sejarah konflik itu sendiri belum serius diwariskan ke generasi muda. Banyak anak muda Aceh hari ini yang:
- Tidak memahami kenapa dulu Aceh berperang
- Tidak tahu siapa saja pahlawan dan syuhada Aceh
- Tidak mengerti apa yang sebenarnya diperjuangkan lewat MoU Helsinki
Seiring waktu, generasi pasca tsunami dan konflik ini tumbuh dalam era digital, lebih mengenal selebritas media sosial ketimbang ulama-ulama pejuang dan tokoh adat Aceh. Ini problem serius, karena tanpa ingatan kolektif, sebuah bangsa akan mudah kehilangan arah.
Generasi Pasca Tsunami: Tumbuh di Tengah Luka dan Harapan
Anak-anak yang lahir di masa tsunami dan damai, kini remaja dan dewasa. Mereka tumbuh di tengah kenangan luka orang tua, puing-puing bencana, dan ingatan perih konflik. Namun, bersamaan dengan itu, mereka juga hidup dalam suasana damai, pembangunan fisik yang massif, dan ruang terbuka untuk berpendapat.
Sayangnya, akses mereka terhadap identitas Aceh yang utuh masih minim. Banyak di antaranya yang kehilangan hubungan emosional dengan adat, sejarah, dan budaya Aceh.
Mereka tidak pernah merasakan darurat militer, tapi juga tidak terlalu paham kenapa Aceh bisa seperti ini.
Pandangan Generasi Muda Aceh Saat Ini
Ada tiga tipe anak muda Aceh hari ini:
- Kelompok pragmatis: cuek terhadap isu daerah, sibuk mengejar karier, viral, dan popularitas.
- Kelompok kritis: mulai sadar ada ketimpangan, mulai membangun wacana alternatif tentang keacehan, politik, dan peran pemuda.
- Kelompok oportunis: ikut-ikutan politik kekuasaan tanpa fondasi nilai, sekadar cari posisi dan keuntungan pribadi.
Jika kelompok kedua tidak didorong, Aceh ke depan akan dikuasai generasi pragmatis dan oportunis — dan itu bahaya bagi masa depan Aceh sebagai wilayah beradat, bersyariat, dan berdaulat dalam budaya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pemerintah Aceh dan para elite politik hari ini harus jujur: selama 21 tahun ini terlalu sedikit yang dilakukan untuk membangun generasi damai yang sadar sejarah dan punya identitas kuat. Pembangunan fisik boleh maju, tapi pembangunan nilai, karakter, dan kebudayaan masih tertinggal jauh.
Beberapa langkah mendesak:
- Mengintegrasikan kembali pelajaran sejarah Aceh dan nilai MoU Helsinki ke dalam kurikulum sekolah
- Mendirikan pusat studi generasi pasca tsunami dan konflik
- Menghidupkan kembali festival adat, seminar sejarah, dan diskusi budaya yang melibatkan pemuda
- Memberikan ruang besar bagi anak muda dalam pengambilan keputusan politik dan sosial di Aceh
Penutup: Aceh di Persimpangan Jalan
Aceh hari ini sedang berada di persimpangan jalan. Antara menjadi daerah yang hanya hidup dari sisa-sisa dana otsus dan nostalgia sejarah, atau bangkit membangun generasi baru yang sadar sejarah, bangga budaya, dan berani menatap masa depan.
Generasi pasca tsunami dan konflik Aceh harus dipersiapkan bukan hanya jadi penonton, tapi sebagai pelaku peradaban. Damai yang diwariskan harus dijaga bukan hanya di atas kertas, tapi di dalam hati dan karya nyata generasi mudanya.
Kalau tidak, damai Aceh hanya akan jadi catatan sejarah, bukan kekuatan masa depan.
Azhari
GPPM