Sejarah Aceh selalu menjadi tema menarik dalam diskursus keindonesiaan. Bukan hanya karena perlawanan gigih rakyatnya terhadap kolonialisme Belanda, tetapi juga karena posisi politik Aceh di masa lalu yang unik. Sering kita dengar orang menyebut Kesultanan Aceh Darussalam, atau di sisi lain menyebutnya Negara Aceh. Lalu, sebetulnya Aceh itu apa? Kerajaan atau Negara?
Dalam perdebatan akademis dan kajian sejarah, istilah ini bukan soal semantik belaka, melainkan menyangkut identitas politik Aceh di masa lalu — dan konsekuensinya terhadap cara kita memahami Aceh hari ini.
Kesultanan Aceh Darussalam: Kerajaan Islam Berdaulat
Secara historis, Aceh yang kita kenal sejak abad ke-16 dikenal dengan nama Kesultanan Aceh Darussalam. Didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1514 M, Aceh tumbuh menjadi salah satu kekuatan maritim terbesar di Asia Tenggara. Wilayah kekuasaannya mencakup hampir seluruh pesisir barat dan timur Sumatra, bahkan sampai Semenanjung Melayu.
Dalam tatanan politik klasik Nusantara, istilah "kesultanan" identik dengan sistem kerajaan berbasis Islam. Artinya, Aceh saat itu adalah sebuah monarki Islam yang diperintah oleh seorang sultan sebagai pemegang otoritas politik dan agama.
Kesultanan Aceh memiliki:
- Struktur pemerintahan sendiri
- Tentara sendiri
- Hukum syariat sendiri
- Hubungan diplomatik langsung ke luar negeri
- Mata uang dan bendera kebesaran sendiri
Dari sini, jelas bahwa Aceh di masa itu adalah kerajaan Islam berdaulat dalam pengertian monarki klasik Nusantara.
Aceh Sebagai Negara Berdaulat: Dalam Hukum Internasional Abad 19
Namun, menariknya, dalam konteks hukum internasional abad ke-19 — terutama setelah Konvensi Wina 1815 — istilah "negara" (staat) menjadi ukuran eksistensi suatu entitas politik di mata bangsa-bangsa modern.
Pada periode ini, Aceh memenuhi kriteria sebagai negara berdaulat:
- Memiliki wilayah
- Memiliki rakyat
- Memiliki pemerintahan berdaulat
- Mampu menjalin hubungan diplomatik internasional
Aceh secara aktif menjalin hubungan resmi dengan Turki Utsmani, Inggris, Prancis, Belanda, hingga Amerika Serikat. Bahkan, Aceh tercatat dalam arsip Eropa sebagai The Kingdom of Atjeh Darussalam. Perjanjian dagang, hubungan protokoler, pengakuan internasional atas kedaulatan Aceh menjadi bukti konkret.
Maka secara substansi, Kesultanan Aceh saat itu telah berposisi sebagai negara berdaulat di mata hukum antarbangsa, jauh sebelum Indonesia lahir.
Politik Kolonial dan Manipulasi Istilah
Ketika Belanda agresif menguasai Aceh setelah Perjanjian London 1824 dan menyerang Aceh 1873, istilah "kerajaan" sengaja dipakai untuk merendahkan status Aceh. Sebab di sistem kolonial Hindia Belanda, istilah kerajaan (vorstenland) hanya berarti entitas takluk yang tunduk pada Gubernur Jenderal.
Padahal, hingga akhir perang Aceh 1942, Aceh tidak pernah resmi menyerahkan kedaulatannya. Bahkan Sultan Muhammad Daud Syah terus melakukan perlawanan hingga akhirnya wafat dalam pengasingan.
Pasca kemerdekaan Indonesia 1945, status Aceh pun sempat kembali menjadi perdebatan:
- Ada yang mengusulkan Aceh sebagai negara bagian
- Ada yang meminta otonomi khusus
- Hingga akhirnya bergabung dalam NKRI dengan kekhususan hukum syariat.
Narasi Negara Aceh di Era Modern
Seiring waktu, istilah "Negara Aceh" mulai dipopulerkan kembali oleh tokoh-tokoh pergerakan Aceh modern, khususnya melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam proklamasi 1976, Aceh disebut sebagai "Negara Aceh Darussalam" yang pernah dijajah ilegal oleh Belanda.
Dalam konteks ini, istilah "negara" digunakan bukan dalam arti sistem monarki, tetapi sebagai entitas politik merdeka yang menuntut pemulihan kedaulatan atas dasar sejarah.
Jadi, Aceh Itu Kerajaan atau Negara?
Jika ditinjau dari berbagai sisi:
- Secara sistem pemerintahan abad 16-19: Aceh adalah kerajaan Islam (Kesultanan).
- Secara relasi politik internasional: Aceh adalah negara berdaulat.
- Dalam hukum kolonial: Aceh diposisikan sebagai kerajaan takluk, meskipun faktanya tidak pernah menyerahkan kedaulatan.
- Dalam narasi politik modern (GAM): Aceh disebut sebagai negara merdeka yang dijajah.
Sehingga jawaban akademis yang adil adalah:
Aceh adalah kerajaan berdaulat yang dalam relasi antarbangsa sudah berstatus negara sebelum konsep negara modern Indonesia lahir.
Perdebatan istilah ini menjadi penting bukan untuk membangkitkan separatisme, melainkan untuk menempatkan Aceh secara proporsional dalam historiografi Nusantara dan Indonesia.
Penutup
Sejarah Aceh mengajarkan bahwa identitas politik sebuah entitas bisa bersifat dinamis, tergantung konteks hukum dan geopolitik zamannya. Aceh pernah menjadi kerajaan Islam terbesar di Nusantara, sekaligus negara merdeka di mata bangsa-bangsa dunia sebelum kolonialisme Eropa datang.
Memahami sejarah ini penting agar kita tidak lagi sekadar memakai istilah tanpa memahami konteksnya. Sebab, di balik istilah, terkandung harga diri, martabat, dan warisan politik yang patut dihargai oleh generasi Aceh dan Indonesia hari ini.
Azhari
ketua GPPM Aceh