Anak Korban Konflik Sudah Dewasa — Ayah Kami Gugur, Lalu Siapa yang Bertanggung Jawab
Oleh: Azhari
Kami sudah dewasa sekarang. Dulu kami hanya anak-anak yang tak mengerti kenapa rumah dibakar, kenapa ayah tak pulang, dan kenapa suara tembakan menggantikan suara azan. Hari ini kami tumbuh dengan luka yang masih basah, luka kehilangan ayah dalam konflik Aceh yang dulu dikatakan demi "harga diri" dan "kemerdekaan rakyat".
Tapi izinkan kami bertanya satu hal: siapa yang bertanggung jawab atas hidup kami yang nyaris tanpa arah ini?
Dulu Kami Anak Yatim Konflik, Kini Kami Generasi yang Tertinggal
Kami tidak tumbuh dengan mainan, tapi dengan suara tangisan ibu di malam hari. Kami tidak punya album keluarga, hanya secarik foto hitam-putih ayah memakai serban, atau bersenjata, atau sekadar duduk dengan senyum yang kini tinggal kenangan.
Kami melihat teman-teman sebaya kami sekolah dengan seragam lengkap, naik sepeda, atau bahkan berkuliah ke luar negeri. Kami? Kami sibuk bekerja serabutan, sekadar untuk beli beras dan membayar utang ibu yang ditinggal tanpa suami dan tanpa santunan.
Kami bukan hanya kehilangan ayah, kami kehilangan masa depan.
Perdamaian yang Tak Menyentuh Kami
Aceh kini damai. Tak ada lagi suara bom. Tapi apakah damai itu menyentuh seluruh rakyat?
Kami tidak butuh seremonial. Kami butuh kehadiran negara, butuh perhatian pemerintah. Tapi selama ini kami merasa seperti generasi yang disembunyikan. Tidak ada pendataan anak korban konflik secara serius. Tidak ada afirmasi pendidikan bagi kami. Tidak ada program pemulihan jiwa.
Bahkan untuk menyebut bahwa kami ini korban pun, terasa tabu.
Kami dituntut diam, tapi juga diminta bangkit.
Bagaimana bisa?
Negara atau Gerakan? Keduanya Harus Bertanggung Jawab
Ayah kami gugur bukan karena kecelakaan. Ia gugur karena konflik bersenjata, sebuah situasi yang melibatkan negara dan gerakan. Maka pertanyaan kami: siapa yang bertanggung jawab atas hidup kami hari ini?
Apakah negara akan terus menghindar? Apakah para pemimpin eks kombatan hanya sibuk rebutan jabatan dan proyek?
Keadilan itu bukan hanya untuk masa lalu. Keadilan adalah tentang memberi ruang kepada anak-anak korban konflik untuk hidup, tumbuh, dan memiliki masa depan. Bila ayah kami sudah memberikan nyawanya, setidaknya berikan kami hak untuk hidup dengan layak.
Kami Tak Minta Dikasihani — Kami Hanya Ingin Keadilan
Kami tidak minta dikasihani.
Kami hanya ingin agar masa lalu kami dihargai dan masa depan kami dijamin.
Berikan kami pendidikan.
Berikan kami ruang bekerja dan berkarya.
Berikan kami kesempatan yang sama di pemerintahan, di dunia kerja, dan di ruang sosial lainnya.
Jangan jadikan kami bahan politik lima tahunan. Jangan jadikan kami bayangan masa lalu yang terus ditutupi demi citra kekuasaan.
Penutup: Kami Akan Bangkit, Tapi Jangan Abaikan Kami
Hari ini kami sudah tumbuh. Kami bukan lagi anak kecil yang hanya bisa menangis di sisi pusara ayah. Kami bisa bicara. Kami bisa menulis. Kami bisa memimpin. Tapi luka itu tetap ada — dan akan terus membekas jika tak ada satu pun yang mengakui dan bertanggung jawab.
Perdamaian sejati lahir dari keberanian untuk mengobati luka masa lalu, bukan hanya merayakan diamnya senjata.
Dan kami, anak-anak korban konflik Aceh, adalah bagian dari cerita itu.
“Ayah kami gugur untuk harapan. Jangan biarkan kami hidup dalam pengabaian.”