Dalam tatanan masyarakat yang adil, anak bukanlah objek yang lahir tanpa perlindungan hukum. Mereka adalah subjek hukum yang memiliki hak-hak dasar: hak hidup, hak atas kasih sayang, pendidikan, dan perlindungan. Ketika anak-anak ditelantarkan oleh orang tuanya sendiri, maka bukan hanya luka psikologis yang mereka derita, tetapi juga luka moral dan sosial yang menyayat hati bangsa ini.
Ketelantaran Anak: Masalah Kemanusiaan dan Pelanggaran Hukum
Penelantaran anak merupakan bentuk kekerasan yang kerap tidak terlihat secara fisik, namun meninggalkan bekas luka yang lebih dalam dari sekadar pukulan. Anak yang tidak diberi makan cukup, tidak disekolahkan, tidak mendapat perhatian, atau dibiarkan tanpa pengawasan termasuk dalam kategori anak terlantar. Dalam konteks hukum Indonesia, hal ini merupakan pelanggaran serius.
Pasal 76B Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan anak dalam bentuk apapun. Sementara Pasal 77 memberikan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta bagi pelakunya.
Hukum adat di Aceh yang hidup dalam semangat syariat Islam pun menempatkan anak dalam posisi yang sangat mulia. Menelantarkan anak merupakan pelanggaran terhadap ajaran agama dan nilai-nilai adat. Islam dengan tegas mewajibkan orang tua untuk memelihara, mendidik, dan mencukupi kebutuhan anaknya.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Ketika orang tua tidak menjalankan fungsinya, maka negara wajib hadir. Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan bahwa "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara." Artinya, tidak ada alasan bagi sistem hukum dan sosial kita untuk membiarkan anak-anak tumbuh dalam derita karena keegoisan orang dewasa.
Namun dalam praktiknya, banyak anak telantar yang tidak mendapat perlindungan sebagaimana mestinya. Sistem hukum kadang lambat, pengawasan sosial melemah, dan penegakan hukum seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Luka Jiwa yang Tidak Tersembuhkan
Penelantaran anak tidak hanya menyangkut soal perut yang lapar atau tubuh yang kurus. Yang paling parah adalah luka batin: perasaan ditolak, tidak dicintai, dan tidak berharga. Anak-anak seperti ini berisiko tinggi mengalami depresi, gangguan kepercayaan diri, dan bahkan tumbuh menjadi pribadi yang juga penuh kemarahan. Ini bukan hanya soal satu anak, tetapi efek domino yang bisa menghancurkan masa depan sebuah generasi.
Jalan Keluar: Pencegahan, Pendidikan, dan Penegakan Hukum
Pertama, perlu ada penguatan sistem edukasi keluarga. Calon orang tua harus diberikan edukasi tentang tanggung jawab keayahbundaan. Kedua, sistem hukum harus menindak tegas kasus penelantaran anak. Ketiga, harus ada penguatan lembaga perlindungan anak, baik dari segi anggaran, kapasitas, maupun akses masyarakat terhadapnya.
Aceh, sebagai daerah dengan keistimewaan syariat Islam, semestinya bisa menjadi pelopor dalam memperjuangkan hak-hak anak. Qanun-qanun yang ada perlu diperkuat implementasinya. Jangan hanya menjadi dokumen, tapi harus menjadi budaya hukum yang hidup.
Penutup
Menelantarkan anak adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Ilahi. Anak adalah titipan Tuhan, bukan beban. Bila kita membiarkan anak-anak tumbuh dalam penelantaran, kita sedang menyiapkan generasi yang rapuh dan penuh luka. Hukum harus menjadi tameng perlindungan, bukan sekadar simbol. Negara harus hadir, dan masyarakat harus peduli. Karena anak-anak hari ini adalah pemimpin bangsa esok hari.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” — Hadis Nabi Muhammad SAW