Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Anak Terlantar, Hak Asasi, dan Tantangan Pendidikan Kita

Selasa, 08 Juli 2025 | 15:42 WIB Last Updated 2025-07-08T08:43:06Z


 

Di balik geliat pembangunan dan kemajuan teknologi, kita masih menyaksikan anak-anak yang terpinggirkan. Di kolong jembatan, di sudut pasar, atau di jalan-jalan perkotaan, wajah-wajah polos itu menjelma menjadi potret ketidakadilan sosial yang nyaring. Mereka adalah anak-anak terlantar, korban dari kemiskinan struktural, konflik keluarga, hingga kelalaian negara dalam memenuhi hak-hak dasar mereka.

Padahal, konstitusi kita jelas menyebutkan bahwa anak-anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Lebih dari itu, dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), anak terlantar adalah bagian dari kelompok rentan yang wajib diprioritaskan perlindungannya. Namun realitas berbicara lain. Pendidikan mereka terbengkalai, kesehatan mereka terabaikan, dan hak untuk tumbuh dalam lingkungan keluarga atau pengasuhan yang layak seringkali menjadi angan.

Landasan Hukum Perlindungan Anak Terlantar

Secara normatif, Indonesia sudah memiliki kerangka hukum yang cukup memadai. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Selanjutnya, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014) memberikan mandat kuat kepada pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, hingga lembaga swasta untuk melindungi dan memenuhi hak anak.

Dalam pasal 1 angka 2 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Negara wajib hadir melalui penyelenggaraan kesejahteraan sosial, rumah singgah, panti asuhan, hingga program pendidikan inklusif bagi anak-anak marginal.

Secara internasional, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, yang menjadi dasar pengakuan universal bahwa setiap anak berhak atas pendidikan, pengasuhan, perlindungan hukum, dan lingkungan yang sehat.

HAM dan Tantangan Pendidikan Anak Terlantar

Persoalan anak terlantar tidak bisa dilepaskan dari tantangan pendidikan. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, sistem pendidikan kita belum sepenuhnya mampu menjangkau anak-anak yang hidup di jalanan, di kolong jembatan, atau di panti-panti sosial.

Masalah ini menjadi semakin kompleks ketika dihadapkan dengan prinsip HAM. Dalam perspektif hak asasi, pendidikan adalah hak dasar yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk bagi anak terlantar. Negara bertanggung jawab bukan hanya menyediakan pendidikan formal di sekolah, tetapi juga pendidikan nonformal dan informal yang ramah, mudah diakses, dan sesuai kebutuhan sosial mereka.

Namun faktanya, akses anak terlantar terhadap pendidikan masih rendah. Banyak di antara mereka yang putus sekolah, tidak memiliki dokumen kependudukan, atau mengalami diskriminasi sosial. Belum lagi stigma yang melekat pada anak jalanan, seolah-olah mereka adalah beban sosial tanpa masa depan.

Tantangan berikutnya adalah minimnya tenaga pendidik dan fasilitas yang memahami psikologi anak terlantar. Sistem pendidikan kita cenderung seragam, padahal kondisi anak-anak marginal memerlukan pendekatan khusus. Program pendidikan luar sekolah atau pendidikan berbasis komunitas masih minim, sementara anak-anak tersebut harus tetap bisa belajar di tengah ketidakpastian hidup.

Dilema Keseimbangan HAM dan Penegakan Hukum

Ada pula dilema antara penegakan hukum dan prinsip HAM dalam menangani anak terlantar. Sebagian besar anak jalanan kerap dianggap melanggar ketertiban umum dan menjadi target razia aparat. Padahal, dari sudut pandang HAM, anak terlantar adalah korban kondisi sosial dan keluarga, bukan pelaku kejahatan. Negara semestinya mengambil pendekatan rehabilitatif dan protektif, bukan represif.

Penegakan hukum terhadap pelanggaran yang melibatkan anak terlantar harus disertai upaya perlindungan. Pasal 59 UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak yang mengalami situasi darurat, anak jalanan, anak dengan penyimpangan sosial, wajib mendapatkan perlakuan khusus dari negara dan masyarakat.

Solusi dan Rekomendasi

Pertama, pemerintah harus memperkuat pendataan anak terlantar secara nasional, termasuk di daerah-daerah konflik, bencana, dan kawasan urban. Tanpa data akurat, intervensi kebijakan akan sulit tepat sasaran.

Kedua, penguatan sistem pendidikan inklusif berbasis komunitas mutlak dilakukan. Pendidikan tidak harus selalu dalam bentuk sekolah formal, tetapi bisa melalui sanggar belajar, taman baca masyarakat, dan pendidikan nonformal lainnya.

Ketiga, perlu ada sinergi antara pemerintah pusat, daerah, lembaga sosial, dan masyarakat dalam memastikan anak terlantar mendapat pengasuhan yang layak. Negara harus mengalokasikan anggaran khusus untuk pelayanan kesejahteraan anak terlantar.

Keempat, paradigma aparat penegak hukum harus berubah. Anak terlantar harus diperlakukan sebagai anak yang butuh perlindungan, bukan obyek razia semata. Pelatihan tentang HAM dan perlindungan anak bagi aparat menjadi kebutuhan mendesak.

Kelima, revitalisasi rumah singgah, panti sosial, dan layanan rehabilitasi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak marginal saat ini yang kian kompleks di era digital.

Penutup

Anak terlantar bukan sekadar potret kemiskinan, tetapi cerminan kegagalan negara dalam memenuhi hak asasi warga termuda. Dalam perspektif hukum dan HAM, mereka memiliki hak yang setara untuk hidup, belajar, dan tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan aman. Sudah saatnya kita memperlakukan mereka sebagai subjek hukum yang bermartabat, bukan sekadar angka statistik dalam laporan kemiskinan.

Pendidikan adalah jembatan masa depan bagi mereka. Jika anak terlantar dibiarkan tanpa pendidikan yang layak, maka negara sedang menyiapkan bom waktu sosial. Keadilan sosial, sebagaimana amanat konstitusi, hanya dapat terwujud bila anak-anak yang terpinggirkan ini diberi ruang yang sama untuk tumbuh dan belajar.


Azhari 
Pemerhati Hukum Anak dan HAM