Cerita Kerajaan di Mata Generasi Muda Aceh di Era Digital
Saat Sejarah Tertinggal di Belakang Layar
Aceh, negeri yang pernah menjulang sebagai salah satu kekuatan besar dunia Melayu-Islam di Asia Tenggara, hari ini menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Bukan lagi penjajah bersenjata atau armada perang asing, tetapi ancaman pelan dan senyap: kehilangan ingatan sejarah.
Di era digital, ketika generasi muda Aceh lebih akrab dengan tren TikTok, game online, dan konten viral tanpa makna, cerita-cerita tentang kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam mulai terkikis dari ingatan kolektif. Nama-nama seperti Sultan Iskandar Muda, Sultanah Shafiatuddin, Laksamana Malahayati, hingga perjanjian persahabatan Aceh–Turki Utsmani nyaris tak terdengar dalam percakapan anak muda di kafe, ruang kelas, atau media sosial.
Padahal, sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi fondasi identitas dan jati diri sebuah bangsa. Bila generasi muda Aceh tercerabut dari akar sejarahnya, maka ia rentan menjadi generasi tanpa arah dan harga diri.
Tulisan ini ingin merefleksikan posisi cerita kerajaan Aceh di mata generasi muda, tantangan di era digital, sekaligus membuka gagasan tentang bagaimana kisah peradaban besar itu seharusnya dihidupkan kembali dengan media kekinian.
Bab I: Kerajaan Aceh Darussalam — Citra Besar yang Mulai Pudar
Kesultanan Aceh Darussalam bukan sekadar kerajaan lokal. Di abad ke-16 hingga awal abad ke-20, Aceh adalah kekuatan besar di Selat Malaka, wilayah strategis yang menjadi jalur dagang utama dunia. Sultan Iskandar Muda pernah memperluas kekuasaan hingga ke Semenanjung Malaya, bahkan menjalin hubungan diplomasi dengan Turki Utsmani.
Kitab Bustan as-Salatin karya Nuruddin ar-Raniry menulis betapa megahnya istana Aceh, betapa kokohnya armada lautnya, dan betapa masyhurnya para ulama Aceh hingga ke Mekkah dan Istanbul. Namun kini, kebesaran itu seperti tinggal nama di buku pelajaran sejarah yang jarang disentuh anak muda.
Di era modern ini, generasi muda lebih mengenal Marvel, BTS, dan Cristiano Ronaldo ketimbang Laksamana Malahayati atau Sultan Ali Mughayat Syah. Bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena sejarah Aceh belum dihadirkan dalam format yang akrab dengan kultur digital mereka.
Bab II: Era Digital — Antara Ancaman dan Peluang
Era digital datang membawa dua wajah. Di satu sisi, ia menjadi ancaman bagi keberlangsungan budaya lokal dan sejarah tradisional. Konten viral yang instan dan menghibur jauh lebih cepat tersebar dibandingkan video dokumenter sejarah. Karakteristik media sosial yang mengutamakan visual cepat dan ringkas membuat kisah sejarah yang panjang dan sarat makna menjadi kalah pamor.
Namun, di sisi lain, era digital juga menghadirkan peluang luar biasa. Platform seperti YouTube, TikTok, Instagram Reels, hingga podcast bisa menjadi medium untuk menghidupkan kembali kisah-kisah kerajaan Aceh dalam format kekinian.
Sayangnya, hingga hari ini, konten digital bertema sejarah Aceh masih minim. Padahal, generasi muda Aceh butuh narasi identitas yang kuat di tengah arus globalisasi. Bila tidak, maka bukan mustahil generasi kita menjadi asing di negeri sendiri.
Bab III: Keterputusan Sejarah dan Krisis Identitas
Generasi muda Aceh hari ini menghadapi krisis identitas yang perlahan merusak pondasi kebangsaan. Hilangnya minat terhadap sejarah kerajaan bukan semata karena sikap apatis anak muda, tapi juga karena sistem pendidikan yang cenderung tekstual dan monoton.
Sejarah Aceh seringkali hanya diajarkan sebagai deretan tanggal, nama raja, dan peristiwa peperangan. Tidak ada ruang bagi anak muda untuk menghayati nilai-nilai keberanian, diplomasi, dan kebijakan yang diwariskan para sultan terdahulu.
Di ruang-ruang publik digital pun, nyaris tidak ditemukan ruang diskusi sejarah yang menarik minat anak muda. Yang ramai hanyalah konten hiburan dangkal yang kadang justru mengikis nilai-nilai budaya Aceh.
Bab IV: Mengemas Sejarah dalam Format Kekinian
Untuk menyelamatkan warisan sejarah Aceh, pendekatannya harus disesuaikan dengan kultur digital anak muda. Beberapa gagasan yang bisa diimplementasikan antara lain:
- Video pendek bertema sejarah Aceh di TikTok dan Instagram
- Podcast tentang kerajaan Aceh yang bisa didengarkan di Spotify
- Komik digital sejarah Aceh dalam bahasa kekinian
- Web series tentang diplomasi Aceh–Turki Utsmani di YouTube
- Game online bertema pertempuran Sultan Iskandar Muda
- Infografis sejarah di media sosial
Sejarah bukan harus selalu disampaikan dalam buku tebal, tetapi bisa hadir dalam konten 1–2 menit yang membangkitkan rasa penasaran anak muda, yang nantinya akan membawa mereka mencari tahu lebih dalam.
Bab V: Tanggung Jawab Bersama
Pemerintah daerah, budayawan, akademisi, komunitas kreatif, hingga influencer Aceh harus bersinergi membangun ekosistem digital yang ramah terhadap narasi sejarah.
Bukan hanya menggelar seminar offline atau lomba esai sejarah, tapi juga:
- Membentuk komunitas digital sejarah Aceh
- Memberi insentif bagi konten kreator sejarah lokal
- Menyediakan beasiswa atau dana produksi film pendek sejarah
- Mengintegrasikan pelajaran sejarah lokal di kurikulum sekolah berbasis multimedia
Tanpa langkah ini, Aceh berpotensi kehilangan warisan sejarahnya di tengah derasnya budaya global.
Bab VI: Menyemai Kebanggaan Identitas
Sejarah bukan sekadar masa lalu, tapi juga cara membangun harga diri dan jati diri. Cerita tentang keberanian Sultan Iskandar Muda, ketegasan Sultanah Shafiatuddin, hingga kebijaksanaan Sultan Ali Mughayat Syah adalah narasi-narasi yang membentuk mentalitas dan kepribadian orang Aceh.
Ketika generasi muda mengenal sejarahnya, mereka akan lebih percaya diri menghadapi dunia. Mereka tidak mudah minder di hadapan bangsa lain, sebab tahu bahwa nenek moyangnya pernah menjadi pemimpin besar kawasan.
Penutup: Warisan yang Tidak Boleh Hilang
Kini, di tengah laju digitalisasi, generasi muda Aceh berada di persimpangan jalan: menjadi generasi yang tercerabut dari akar sejarahnya, atau menjadi generasi yang cerdas memanfaatkan digital untuk menghidupkan kembali kejayaan masa lalu.
Cerita tentang kerajaan Aceh harus kembali hadir, bukan hanya di buku sejarah, tetapi juga di ruang digital anak muda. Karena siapa yang lupa sejarahnya, akan hilang di antara arus globalisasi tanpa jati diri.
Maka, mari kita hidupkan kembali cerita kerajaan Aceh, bukan sekadar untuk mengenang masa lalu, tetapi untuk menyiapkan masa depan generasi muda yang berakar kuat pada identitasnya.
Azhari
Pemerhati Sejarah dan Budaya ?