Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hati Nurani dan Keadilan bagi Masyarakat Miskin: Sebuah Renungan Kehidupan Menuju Kematian

Jumat, 18 Juli 2025 | 23:24 WIB Last Updated 2025-07-18T16:25:05Z



Hati Nurani dan Keadilan bagi Masyarakat Miskin: Sebuah Renungan Kehidupan Menuju Kematian


Oleh: Azhari 

Di antara hiruk-pikuk kehidupan modern yang dipenuhi oleh ambisi, kompetisi, dan kepentingan diri, terselip satu pertanyaan yang jarang dipertanyakan secara serius: Apakah hati nurani kita masih hidup? Dan lebih jauh lagi: Apakah keadilan itu nyata, atau hanya retorika yang dipakai untuk menenangkan rasa bersalah kita terhadap kaum miskin?

Kita hidup, tetapi akan mati. Itu pasti. Namun, sebelum kematian datang, apakah hidup ini sudah benar-benar menjadi ladang amal dan keberpihakan bagi yang lemah? Ataukah kita justru menjadi bagian dari sistem yang melanggengkan ketimpangan?


Hati Nurani yang Mati di Tengah Hidup yang Sibuk

Di jalan-jalan kota, di gang-gang sempit, di pemukiman pinggir sungai yang rawan longsor, kita melihat wajah-wajah penuh kelelahan. Mereka bekerja keras—tukang becak, buruh bangunan, pemulung, pedagang kecil, petani di kampung—semua hidup dari keringat dan harapan yang sering dikhianati. Mereka bukan tidak mau berubah, tetapi sistem terlalu sering tidak memihak pada mereka.

Keadilan sosial menjadi jargon kampanye, namun tak kunjung jadi kenyataan. Bantuan sosial kerap salah sasaran. Pendidikan dan kesehatan yang layak masih menjadi mimpi. Apakah kita benar-benar tidak melihat ini? Atau kita pura-pura buta karena terlalu sibuk mengejar dunia?


Keadilan yang Tak Bertuan

Keadilan bukanlah sesuatu yang turun dari langit. Ia hadir jika ada keberanian moral untuk memperjuangkannya. Tapi justru di sinilah krisis terjadi: banyak yang tahu, tetapi memilih diam. Banyak yang sadar, tapi bungkam demi jabatan. Banyak yang bisa membantu, tetapi menutup mata karena merasa itu bukan urusannya.

Sementara itu, masyarakat miskin menjadi korban berlapis-lapis: korban kemiskinan, korban ketidakpedulian, dan korban kebijakan yang timpang.

Bagi mereka, keadilan adalah kemewahan. Memperoleh surat tanah, mendapat pelayanan kesehatan yang manusiawi, bahkan sekadar mendapatkan hak sebagai warga negara, terasa sangat sulit.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab? Semua kita.


Kehidupan dan Kematian: Apa yang Kita Bawa?

Hidup ini fana. Cepat atau lambat, kita akan mati. Tak peduli seberapa tinggi jabatan, seberapa banyak harta, dan seberapa banyak pengikut. Semua akan kita tinggalkan. Yang abadi hanyalah amal, dan salah satu amal paling utama adalah memperjuangkan hak orang lain.

Jika hari ini kita tidak berpihak pada mereka yang tertindas, lalu apa yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak?

Hidup bukan sekadar menumpuk kekayaan atau menjaga citra. Hidup adalah soal keberpihakan: kepada siapa kita berpihak saat punya kuasa? Kepada siapa suara kita lantang saat ada ketidakadilan?


Menjadi Suara Bagi yang Tak Bersuara

Menjadi manusia sejati adalah menjadi manusia yang peduli. Bukan karena ingin dipuji, tapi karena hati nurani masih hidup. Karena kita sadar, bahwa hidup ini bukan tentang berapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa banyak kita memberi. Bukan tentang siapa kita di mata dunia, tapi siapa kita di mata mereka yang tak punya apa-apa.

Menjadi pemimpin, pejabat, guru, aktivis, penulis, atau siapapun, adalah kesempatan untuk menyuarakan yang tak terdengar. Janganlah kita menjadi generasi yang mengabaikan jeritan kaum miskin, lalu berharap mati dengan husnul khatimah.


 Sebelum Kita Mati, Jadilah Manusia

Kita akan mati. Itu pasti. Dan sebelum kematian menjemput, masih ada waktu untuk menghidupkan kembali hati nurani. Masih ada ruang untuk memperjuangkan keadilan, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk mereka yang tidak pernah memiliki suara.

Hiduplah dengan keberanian, matilah dengan kehormatan. Karena di ujung hidup, bukan jumlah kekayaan yang akan ditanya, tapi apa yang telah kita lakukan untuk sesama manusia.