Jabatan: Keadilan atau Murka Allah di Hari Akhir
Dalam hidup ini, tak sedikit manusia yang mengejar jabatan seolah-olah ia adalah tiket menuju kemuliaan. Sebagian bahkan mempertaruhkan harga diri, agama, dan nurani demi mendapat satu posisi strategis. Mereka ingin dipanggil "Yang Terhormat", ingin dihormati dalam rapat, ingin dielu-elukan di panggung politik dan disambut bak raja. Tapi mari bertanya lebih dalam: apakah jabatan itu akan menjadi kemuliaan di sisi Allah, atau justru menjadi pintu murka di hari akhir?
Jabatan: Amanah atau Petaka?
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis riwayat Muslim:
"Wahai Abdurrahman, jangan engkau minta jabatan, karena jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, maka engkau akan dibantu (oleh Allah). Namun jika engkau diberi karena meminta, maka engkau akan dipikul sendiri (tanpa pertolongan Allah).”
Jabatan bukan kehormatan, tapi ujian berat yang akan dimintai pertanggungjawaban. Satu keputusan bisa menyelamatkan banyak orang, tapi juga bisa menjerumuskan satu bangsa. Bila kekuasaan digunakan untuk menindas, memeras, mengkhianati rakyat, maka jabatan itu bukan lagi amanah, melainkan kutukan yang kelak dipertontonkan di hadapan seluruh makhluk di hari kiamat.
Di Mana Hati Nurani Kita Hari Ini?
Renungkan sejenak. Sudah berapa banyak yang kita tolak keadilan demi keuntungan pribadi? Sudah berapa kali kita pura-pura tidak tahu tentang penderitaan rakyat? Sudah berapa kali kita menyetujui proyek yang menindas yang lemah, hanya demi mengamankan posisi?
Pertanyaannya sederhana: Apa yang sudah kita lakukan dengan jabatan kita?
- Apakah kita telah menolong yang tertindas?
- Apakah kita telah menegur yang zalim?
- Apakah kita telah menyuarakan suara rakyat?
- Atau justru kita menjadi bagian dari kedzaliman itu?
Jika belum, maka bersiaplah... karena hari pembalasan itu nyata.
Jabatan yang Mendekatkan Diri pada Neraka
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menyebutkan bahwa banyak ulama klasik memilih menghindari jabatan karena takut pada hisab yang berat. Mereka paham bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang, maka semakin rinci hisabnya.
“Setiap pemimpin adalah pemelihara dan akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin.” – (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, jika jabatan itu hanya untuk memperkaya diri, menyiksa rakyat, merusak lingkungan, dan mematikan suara-suara keadilan, maka itu bukan jalan menuju surga—tapi jalan pintas menuju murka Allah.
Renungan: Sudahkah Kita Mengabdi atau Justru Menghianati?
Jabatan adalah ladang amal, tapi juga bisa menjadi ladang kehancuran.
Sudahkah kita gunakan kekuasaan untuk membela janda miskin yang ditelantarkan?
Sudahkah kita perjuangkan anak-anak yatim agar sekolah tanpa pungli?
Sudahkah kita hadir di desa terpencil tanpa hanya menunggu masa kampanye?
Sudahkah kita jujur ketika menandatangani anggaran?
Atau justru kita mengunci ruang keadilan, menutup pintu nurani, dan tertawa di atas tangisan rakyat?
Menuju Hari Akhir: Ketika Jabatan Tidak Lagi Berguna
Saat tubuh terbujur kaku, jabatan tidak akan ikut dikubur. Lambang pangkat, kursi empuk, atau ruang VIP hanya akan jadi kenangan yang mungkin dikutuk masyarakat dan malaikat.
Hari itu akan datang. Hari ketika semua topeng akan terbuka.
Hari ketika rakyat yang dizalimi bersaksi.
Hari ketika lembaran keputusan dan dokumen korupsi dibacakan satu per satu.
Hari ketika lidah tak bisa lagi berdusta.
Dan di hadapan Allah, tak ada pembela. Yang ada hanya amal atau azab.
Pilihannya Ada di Tangan Kita
Kita bisa memilih:
Jabatan yang membawa berkah, atau jabatan yang membawa laknat.
Jabatan yang membuat kita dekat dengan surga, atau jabatan yang menyeret ke neraka.
Jabatan yang dikenang karena keberpihakan pada keadilan, atau dikenang karena menjadi simbol kerakusan.
Karena hidup ini hanya sementara. Dan kematian akan memulangkan kita kepada-Nya.
Jangan tunggu ajal untuk menyadari, bahwa setiap keputusan, setiap tanda tangan, dan setiap kebijakan akan menjadi saksi—apakah kita layak disebut pemimpin… atau penghianat.