Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Moderasi Beragama dalam Masyarakat Aceh Dulu hingga Sekarang

Kamis, 24 Juli 2025 | 13:52 WIB Last Updated 2025-07-24T06:52:45Z


Aceh, yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah, memiliki sejarah panjang sebagai daerah yang menjadikan Islam sebagai dasar dalam tatanan sosial, politik, dan budaya. Namun, dalam perjalanannya, konsep moderasi beragama—yakni pemahaman dan praktik keagamaan yang adil, seimbang, dan toleran—mengalami dinamika yang cukup signifikan. Antara masa lalu yang penuh dengan kebijaksanaan ulama dan masa kini yang diwarnai oleh tantangan globalisasi, moderasi beragama di Aceh menghadapi ujian serius.

Dulu: Keseimbangan Ulama dan Umara

Pada masa lalu, Aceh dikenal sebagai pusat peradaban Islam yang memadukan ilmu, tasawuf, dan hukum dengan nilai-nilai kearifan lokal. Para ulama seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili dan Hamzah Fansuri mengajarkan Islam dengan pendekatan yang inklusif, spiritual, dan penuh toleransi terhadap keberagaman budaya lokal.

Moderasi pada masa itu bukan sekadar wacana, tapi nyata dalam praktik. Misalnya, dalam pengelolaan pendidikan Islam, terdapat integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam muamalah sosial, masyarakat diajarkan untuk menghormati orang lain, bahkan terhadap mereka yang berbeda agama, sebagaimana terlihat dalam jejak sejarah Aceh yang pernah menjadi tempat berlindung bagi komunitas Tionghoa dan India.

Sekarang: Di Tengah Guncangan Zaman

Namun, moderasi beragama di Aceh kini menghadapi tantangan. Di satu sisi, penerapan syariat Islam menjadi kebanggaan identitas masyarakat Aceh pasca-MoU Helsinki. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa semangat pelaksanaan syariat ini lebih menekankan pada aspek simbolik dan hukuman daripada pada penguatan nilai-nilai esensial seperti keadilan, kasih sayang, dan edukasi.

Sebagian kelompok di masyarakat mulai menunjukkan gejala ekstremisme sikap: mudah mengkafirkan, merasa paling benar, atau bahkan memaksakan penafsiran tunggal atas ajaran agama. Hal ini justru bertolak belakang dengan semangat Islam rahmatan lil ‘alamin yang dulu dijunjung tinggi oleh para leluhur Aceh.

Sementara itu, generasi muda menghadapi arus globalisasi digital, di mana informasi agama tersebar tanpa filter. Mereka lebih banyak belajar agama dari potongan video TikTok daripada dari dayah atau guru. Akibatnya, mereka rentan terjebak pada pemahaman yang dangkal, bahkan radikal.

Tanggung Jawab Bersama: Menjaga Titik Tengah

Moderasi beragama bukan berarti mencairkan prinsip agama, tetapi menempatkan agama pada posisinya yang adil dan penuh kasih sayang. Masyarakat Aceh perlu kembali meneladani pendekatan ulama masa lalu—yang mendalam dalam ilmu, namun lembut dalam berdakwah.

Peran pemerintah, ulama, dan lembaga pendidikan sangat vital. Pemerintah harus mendorong kurikulum Islam yang moderat sejak dini. Ulama perlu tampil sebagai panutan yang tidak hanya mahir dalam ilmu, tetapi juga bijak dalam menyikapi perbedaan. Media sosial, bila dimanfaatkan dengan baik, bisa menjadi sarana untuk menyebarkan narasi Islam yang santun, dialogis, dan mencerahkan.

Jangan Hilangkan Roh Kasih Sayang dalam Islam

Aceh tidak boleh kehilangan jati diri sebagai masyarakat Islam yang beradab dan moderat. Islam yang diajarkan di Aceh seharusnya tetap mencerminkan nilai-nilai maqasid syariah—melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Moderasi bukan kelemahan, tetapi kekuatan Islam yang sejati.

Jika dulu Aceh menjadi mercusuar Islam yang mencerahkan nusantara, maka sekarang adalah waktunya untuk kembali menyalakan pelita itu. Bukan dengan kekerasan atau simbol semata, tetapi dengan ilmu, hikmah, dan kasih sayang—sebagaimana Rasulullah saw telah mencontohkan.