Jejak Petualang Aceh ke Lintas Dunia: Mencari Identitas dalam Tapal Batas Sejarah
Oleh: Azhari
Aceh, negeri yang dulunya disebut Serambi Mekkah, bukan hanya dikenal karena semangat juang rakyatnya melawan kolonialisme, tetapi juga karena peran penting anak-anak bangsanya dalam merambah dunia luar. Dari pelaut, saudagar, ulama, hingga diplomat; petualang Aceh telah meninggalkan jejak pada berbagai benua, jauh sebelum globalisasi menjadi jargon modern.
Dalam sejarah perjalanan bangsa, sering kali yang dikenal hanya nama-nama besar dari Jawa, Sumatera Barat, atau Sulawesi. Namun, sesungguhnya, Aceh telah lebih dahulu menorehkan tinta emas di samudera perdagangan, dakwah, dan diplomasi internasional sejak abad ke-15. Siapa yang mengenal nama Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien, tetapi tidak mengenal para pedagang Aceh yang berlayar hingga ke Timur Tengah, India, bahkan Afrika Timur?
Dari Pelabuhan Kuala hingga Pelabuhan Jeddah
Catatan sejarah menunjukkan bahwa pelaut Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda telah menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan Kekaisaran Ottoman di Turki, serta menjalin ikatan strategis dengan Kesultanan Gujarat dan Malaka. Pelabuhan Kuala Langsa, Ulee Lheue, dan Meureudu adalah simpul perjalanan laut yang menjadi titik keberangkatan bagi saudagar dan ulama Aceh menuju Hijaz dan wilayah-wilayah strategis dunia Islam lainnya.
Tidak sedikit anak muda Aceh yang “berpetualang” demi ilmu dan iman. Mereka belajar di Mekkah, Madinah, Kairo, dan kemudian kembali dengan membawa pemikiran pembaruan. Inilah petualangan intelektual, spiritual, dan sosial yang menyatu dalam semangat membangun bangsa.
Ulama Pengembara dan Dakwah Global
Jejak petualangan Aceh juga dapat ditelusuri lewat kiprah para ulama Aceh di dunia Islam. Salah satu contohnya adalah Syaikh Abdurrauf As-Singkili, yang belajar di Timur Tengah dan kembali menjadi mufti besar Aceh. Bahkan dalam catatan kolonial Belanda, ulama-ulama Aceh disebut sebagai “agen pembaruan” yang menakutkan karena mampu menggerakkan kesadaran rakyat lintas wilayah.
Dalam era yang lebih modern, diaspora Aceh berkembang hingga ke Malaysia, Arab Saudi, Eropa, dan Amerika. Petualangan ini bukan sekadar pengembaraan ekonomi, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan pencarian identitas diri dalam ruang global yang makin kabur batasnya.
Refleksi untuk Generasi Muda Aceh
Hari ini, generasi muda Aceh hidup dalam dunia digital tanpa batas, namun ironisnya kehilangan arah dan identitas. Petualangan zaman dulu penuh peluh dan darah, kini tergantikan oleh gawai dan algoritma. Di sinilah pentingnya menggali ulang kisah-kisah petualangan generasi Aceh dahulu — bukan hanya sebagai nostalgia, tetapi sebagai peta moral dan intelektual untuk membentuk masa depan.
Generasi Aceh harus bangkit dan meniru semangat para leluhur yang berani melintasi batas budaya, agama, dan peradaban demi misi yang luhur. Kita bukan bangsa kecil yang hanya menonton dunia, kita adalah bagian dari sejarah dunia yang pernah memegang kompasnya.
Aceh dan Dunia Tidak Pernah Terpisah
Jejak petualang Aceh membuktikan bahwa keterhubungan global bukan hal baru. Yang baru adalah bagaimana generasi kini menanggapi panggilan sejarah tersebut. Jangan biarkan jejak petualang Aceh hilang hanya menjadi artefak di museum. Jadikanlah ia inspirasi untuk kembali melintasi dunia — dengan ilmu, iman, dan keberanian.
Aceh bukan hanya milik peta, tetapi milik dunia.