Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Ketika Pernikahan Menjadi Perang Sunyi: Istri dan Anak sebagai Korban Konflik Rumah Tangga

Selasa, 08 Juli 2025 | 15:38 WIB Last Updated 2025-07-08T08:38:14Z



Prolog: Pernikahan, Cinta, dan Luka yang Terabaikan

Pernikahan sering dimaknai sebagai peristiwa sakral yang menyatukan dua insan untuk saling mencintai, membangun keluarga, dan meneruskan keturunan. Dalam Islam, pernikahan adalah setengah dari agama. Tapi realitas di lapangan sering tak seindah kalimat khutbah nikah. Tidak sedikit pernikahan justru menjadi ladang derita bagi perempuan dan anak-anak.

Di Aceh, konflik rumah tangga bukan lagi hal yang bisa dianggap aib pribadi. Di balik dinding meunasah, di ruang tamu kampung, hingga di meja persidangan, kita menyaksikan kisah pilu perempuan yang terpaksa bertahan demi anak, karena takut stigma janda atau semata karena tidak punya pilihan ekonomi. Lebih menyedihkan, anak-anak dari pernikahan itu tumbuh dalam ketakutan, trauma, bahkan menjadi korban kekerasan langsung.

Pertanyaannya: di mana posisi hukum, adat, dan negara saat rumah tangga menjadi perang sunyi? Bagaimana peran syariat Islam di Aceh dalam melindungi istri dan anak korban konflik keluarga?


Ketika Rumah Menjadi Arena Pertengkaran

Rumah yang ideal adalah tempat pulang paling aman. Sayangnya, bagi sebagian istri, rumah justru menjadi ruang paling menakutkan. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi, baik soal ekonomi, perselingkuhan, ketidakcocokan, maupun campur tangan keluarga besar. Di banyak kasus, konflik itu tak diselesaikan secara dewasa, melainkan berujung kekerasan verbal, emosional, bahkan fisik.

Perempuan Aceh sering dididik untuk diam, karena mempertahankan keluarga lebih utama daripada menuntut keadilan diri. Dalam budaya patriarki yang masih kuat, perempuan yang menggugat dianggap durhaka, perempuan yang bertahan disebut perempuan baik-baik. Akhirnya, banyak istri memilih memendam derita, hingga kesehatan fisik dan mentalnya hancur.

Anak-anak pun menjadi korban pasif. Mereka menyaksikan kekerasan, menyerap ketakutan, dan menyimpan trauma yang kelak diwariskan. Padahal anak-anak ini adalah generasi masa depan Aceh, yang jika dibesarkan dalam lingkungan tidak sehat, akan menghasilkan masyarakat penuh luka sosial.


Hukum Islam dan Negara: Pelindung atau Penonton?

Aceh memiliki keistimewaan dengan penerapan syariat Islam. Hukum keluarga Islam telah diatur melalui Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Keluarga, dan Qanun Nomor 11 Tahun 2008 tentang Jinayat. Seharusnya, syariat menjadi pelindung istri dan anak dari kekerasan rumah tangga.

Sayangnya, implementasi hukum seringkali lemah. Banyak perempuan korban KDRT yang tak berani melapor karena takut dicap membuka aib keluarga. Ada pula laporan yang diabaikan aparat karena dianggap masalah rumah tangga. Padahal, dalam Islam, perlakuan zalim terhadap istri dan anak adalah dosa besar.

Hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sudah menjamin perlindungan istri dan anak. Tetapi di Aceh, hukum ini kerap berbenturan dengan tafsir adat dan budaya yang menempatkan perempuan di posisi subordinat.

Konsekuensinya, perempuan sering dipaksa memilih: bertahan dalam kekerasan atau keluar dari pernikahan dengan harga sosial yang mahal. Sementara anak-anak dibiarkan hidup dalam trauma tanpa rehabilitasi psikologis yang memadai.


Anak: Korban Tak Bersalah

Anak yang lahir dari pernikahan konflik, sering menjadi korban sunyi. Mereka tak punya kuasa, tak bisa bersuara, hanya mampu menyaksikan pertengkaran, pemukulan, atau pengabaian. Secara psikologis, anak-anak korban konflik keluarga berpotensi mengalami gangguan emosi, penurunan prestasi, hingga kelak memiliki kecenderungan mengulang pola kekerasan.

Di Aceh, kasus seperti ini banyak tersembunyi. Budaya malu membuat keluarga korban enggan meminta bantuan. Padahal, tanpa intervensi psikologis dan sosial, anak-anak ini akan tumbuh dalam luka batin yang sulit sembuh.

Negara dan pemerintah daerah seharusnya hadir. Qanun Perlindungan Anak sudah ada, tapi belum efektif. Aceh butuh pusat rehabilitasi trauma anak korban KDRT dan perceraian, serta layanan hukum gratis bagi ibu dan anak korban kekerasan keluarga.


Ekonomi dan Kekuasaan Sebagai Faktor Konflik

Banyak konflik rumah tangga di Aceh dipicu faktor ekonomi. Suami yang pengangguran atau memiliki penghasilan kecil, sementara beban rumah tangga berat, rentan memicu pertengkaran. Saat kebutuhan dasar tak terpenuhi, cinta bisa hilang, digantikan kemarahan.

Lebih berbahaya lagi saat lelaki menggunakan kekuasaan patriarki untuk menekan istri. Kewajiban suami menafkahi sering diabaikan, tapi istri tetap dipaksa patuh. Ketika istri menuntut haknya, kekerasan menjadi alat penunduk.

Di sisi lain, istri yang mandiri ekonomi pun kerap mendapat label buruk. Perempuan yang bekerja dianggap kurang hormat kepada suami. Sementara dalam ajaran Islam, perempuan berhak mandiri secara ekonomi, bahkan Rasulullah SAW menikahi Khadijah, seorang saudagar perempuan sukses.


Peran Ulama, Tokoh Adat, dan Pemerintah

Mengatasi konflik rumah tangga di Aceh bukan sekadar soal hukum. Dibutuhkan peran ulama, tokoh adat, dan pemerintah desa. Meunasah dan dayah harus menjadi ruang edukasi tentang hak-hak perempuan dan anak dalam Islam. Ceramah agama harus mulai menyentuh isu perlindungan keluarga, bukan hanya soal poligami dan cerai.

Pemerintah daerah harus membentuk layanan konseling keluarga di tiap kecamatan. Aceh bisa meniru program rumah aman bagi korban KDRT di provinsi lain. Selain itu, pemberdayaan ekonomi perempuan harus menjadi prioritas, agar perempuan korban kekerasan tidak terpaksa bertahan karena takut miskin.


Penutup: Saatnya Berpihak kepada Korban

Aceh tak bisa hanya bangga dengan status daerah syariat tanpa membela perempuan dan anak korban konflik rumah tangga. Hukum harus hadir melindungi yang lemah. Masyarakat harus mendobrak budaya diam. Ulama harus lantang membela korban. Dan negara harus bertanggung jawab atas korban kekerasan yang hidup dalam diam.

Perempuan dan anak adalah tiang peradaban. Jika mereka hancur, Aceh akan rapuh. Pernikahan seharusnya menjadi tempat berlindung, bukan tempat luka. Rumah tangga semestinya menjadi ladang kasih, bukan arena konflik.

Karena itu, sudah saatnya Aceh berpihak kepada korban. Tak boleh lagi istri dan anak-anak menanggung luka diam-diam dalam rumah yang mestinya menjadi surga.

Karena yang kita perjuangkan bukan sekadar hukum, tapi kemanusiaan.