Aceh, daerah istimewa dengan kekhususan syariat Islam, selama ini dikenal sebagai satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan hukum Islam secara formal melalui Qanun. Dalam kerangka hukum tersebut, berbagai aturan terkait sosial, politik, ekonomi, hingga pidana diatur berdasarkan nilai-nilai syariat. Namun, satu hal yang hingga kini masih menjadi problem laten adalah soal perlindungan anak di Aceh. Meski regulasi telah tersedia, implementasi serta efektivitasnya masih jauh dari harapan.
Di tengah semangat penerapan syariat, anak-anak di Aceh sesungguhnya hidup dalam sistem hukum yang memiliki dua wajah: satu sisi mengaku berpihak kepada kepentingan terbaik anak, di sisi lain justru masih menempatkan anak dalam posisi rentan, baik secara hukum, sosial, maupun psikologis. Pertanyaan yang kemudian mengemuka, apakah Qanun Aceh benar-benar melindungi anak, atau justru mengancam masa depan mereka secara diam-diam?
Anak dalam Kerangka Qanun Aceh
Secara formal, Aceh memiliki beberapa regulasi yang menjadi dasar perlindungan anak, antara lain:
- Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak
- Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat
- Beberapa aturan turunannya di sektor pendidikan, kesehatan, dan keluarga.
Dalam Pasal 1 angka 7 Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan jika itu memberikan manfaat baginya. Definisi ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak secara nasional.
Qanun ini juga mengatur prinsip dasar perlindungan anak yang meliputi non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, serta hak perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi. Sayangnya, implementasi di lapangan tak seindah bunyi pasalnya.
Anak Berhadapan dengan Hukum: Dilema Keadilan Syariat
Salah satu problem utama adalah perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), khususnya dalam kasus pelanggaran syariat. Misalnya, dalam kasus jarimah khalwat, zina, minum khamar, atau maisir. Di dalam Qanun Jinayat, memang diatur bahwa anak yang belum baligh tidak dapat dikenai uqubat, melainkan harus dilakukan pembinaan. Jika anak sudah baligh, maka bisa dikenai uqubat cambuk atau denda.
Namun problemnya, banyak kasus di mana anak yang terlibat pelanggaran syariat langsung mendapatkan stigma sosial, tanpa proses pemulihan psikososial yang layak. Anak-anak yang pernah berhadapan dengan aparat Wilayatul Hisbah atau Mahkamah Syariah kerap sulit diterima kembali oleh lingkungan sosialnya. Mereka menjadi korban dua kali: korban dari pelanggaran yang dilakukan atau situasi yang menjerumuskan, dan korban stigma yang tak kunjung selesai.
Fakta di lapangan, Aceh belum memiliki fasilitas rumah singgah anak berstandar syariah yang memadai di tiap kabupaten/kota. Pendamping hukum anak juga masih minim, bahkan dalam beberapa kasus anak diproses tanpa pendampingan psikolog maupun konselor agama. Padahal, dalam Syariat Islam prinsip utama penegakan hukum adalah menolak kerusakan yang lebih besar dan mendorong kemaslahatan.
Perkawinan Anak: Antara Budaya dan Regulasi
Satu lagi problem yang cukup serius di Aceh adalah tingginya angka perkawinan anak di bawah umur. Meskipun secara nasional usia minimum perkawinan dinaikkan menjadi 19 tahun, Aceh memiliki kekhususan di mana dengan alasan tertentu Mahkamah Syariah dapat memberikan izin perkawinan anak di bawah umur.
Kasus-kasus perkawinan anak seringkali dilakukan atas nama budaya, atau sebagai solusi atas kehamilan di luar nikah. Padahal, dari perspektif perlindungan anak, hal ini sama saja menjerumuskan anak ke dalam pernikahan yang tidak siap secara mental, ekonomi, dan sosial. Di sisi lain, Aceh hingga saat ini belum memiliki qanun keluarga yang komprehensif untuk melindungi hak-hak anak dalam keluarga, baik anak hasil perkawinan sah, poligami, maupun anak dari keluarga broken home.
Perkawinan anak berdampak panjang. Anak perempuan yang menikah dini berpotensi mengalami kekerasan dalam rumah tangga, putus sekolah, hingga masalah kesehatan reproduksi. Sementara anak laki-laki kehilangan kesempatan pendidikan dan terjebak dalam beban ekonomi yang belum siap dipikul.
Eksploitasi Digital dan Kekerasan Seksual
Perkembangan teknologi di Aceh juga menghadirkan ancaman baru bagi anak, yaitu eksploitasi digital, kekerasan seksual online, hingga pornografi daring. Sayangnya, hingga saat ini Qanun Perlindungan Anak maupun Qanun Jinayat belum secara spesifik mengatur kejahatan berbasis digital terhadap anak.
Kasus anak sebagai korban pelecehan online, pemerasan digital, hingga rekaman konten vulgar yang viral di media sosial Aceh makin sering terjadi. Namun aparat penegak hukum syariah belum cukup cakap dalam menangani kejahatan jenis ini. Sementara itu, di sisi lain anak korban kekerasan digital sering kali mengalami penghakiman moral dari masyarakat sebelum proses hukum berjalan.
Kemana Arah Qanun Aceh untuk Anak?
Sudah saatnya Pemerintah Aceh dan DPRA melakukan revisi besar-besaran terhadap Qanun Perlindungan Anak. Beberapa aspek penting yang perlu diakomodasi di antaranya:
- Pengaturan tegas larangan perkawinan anak di bawah 18 tahun tanpa pengecualian
- Perlindungan anak dari eksploitasi digital dan kekerasan seksual online
- Penguatan layanan rehabilitasi anak pelaku dan korban pelanggaran syariat
- Pendirian rumah perlindungan anak berbasis syariat di setiap kabupaten/kota
- Pelibatan dayah dan ulama dalam advokasi perlindungan anak
Di saat yang sama, masyarakat Aceh perlu didorong untuk memiliki perspektif baru tentang anak. Bahwa anak bukan hanya milik keluarga, adat, atau institusi agama, tetapi amanah umat yang harus dijaga haknya secara utuh.
Penutup: Anak Aceh, Masa Depan yang Sedang Diuji
Jika hari ini Aceh gagal memberikan sistem hukum yang berpihak kepada anak, maka Aceh sedang membangun masa depan yang rapuh. Syariat Islam seharusnya menjadi payung perlindungan bagi yang lemah, termasuk anak-anak. Jangan biarkan syariat justru menjadi alat represi, stigma, dan ketidakadilan.
Aceh boleh saja bersyariat, tapi jangan biarkan anak-anak tumbuh dalam ketakutan, stigma, dan ketidakadilan sosial. Sebab merekalah kelak yang akan menjadi pemimpin, ulama, dan penggerak syariat di masa depan. Bila anak-anak kita hari ini hancur, maka sia-sialah semua qanun, syariat, dan kemuliaan yang kita banggakan.
Anak bukan milik adat. Anak bukan milik syariat. Anak adalah amanah umat. Lindungi mereka seutuhnya.
Penulis Azhari, advokat ,Dosen hukum Islam UIA