Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pencabulan Anak di Aceh — Pilih Qanun Jinayat atau UU Perlindungan Anak

Selasa, 08 Juli 2025 | 00:03 WIB Last Updated 2025-07-07T17:03:43Z


 

Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Syariat Islam dalam sistem hukumnya melalui Qanun, kerap menghadapi dilema ketika berhadapan dengan perkara-perkara pidana umum, khususnya terkait kejahatan terhadap anak di bawah umur. Salah satu kasus yang paling sering terjadi adalah pencabulan terhadap anak. Persoalannya bukan hanya soal berat ringannya hukuman, tapi soal mekanisme pembuktian, dasar hukum yang digunakan, dan posisi korban dalam proses hukum.

Pertanyaan yang selalu muncul dalam perkara semacam ini di Aceh adalah: apakah pelaku pencabulan anak diproses berdasarkan Qanun Jinayat, atau menggunakan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002)? Mana yang lebih berpihak kepada korban anak, dan mana yang paling menjamin keadilan substantif?


Posisi Hukum: Pidana Syariat vs Pidana Nasional

Secara normatif, Aceh memiliki Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Dalam Pasal 47 Qanun tersebut diatur tentang Jarimah pelecehan seksual (fāḥisyah). Ancaman hukumannya berupa cambuk atau denda emas, atau pidana penjara dalam batas waktu tertentu.

Namun di sisi lain, hukum nasional memiliki Pasal 76E dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak, yang mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan perbuatan cabul. Ancaman hukumannya tidak main-main, yaitu 5 sampai 15 tahun penjara, dengan pemberatan jika pelaku adalah orang dekat korban atau dilakukan lebih dari satu orang.

Secara hukum, Aceh memang berwenang menggunakan Qanun dalam perkara pidana syariat. Namun dalam konteks kejahatan terhadap anak, UUPA Pasal 125 ayat (2) menegaskan bahwa Qanun tidak boleh bertentangan dengan ketentuan pidana nasional yang lebih tinggi tingkatannya. Artinya, dalam hal terdapat ketentuan pidana nasional yang lebih berat untuk melindungi anak, maka ketentuan tersebut wajib diprioritaskan.


Kelemahan Mekanisme Pembuktian Qanun Jinayat

Persoalan besar dalam penerapan Qanun Jinayat dalam kasus pencabulan anak adalah soal alat bukti. Qanun Jinayat mensyaratkan minimal dua orang saksi laki-laki muslim yang adil, atau pengakuan pelaku, atau qarinah (indikasi kuat) yang mendukung.

Faktanya, dalam banyak kasus kekerasan seksual anak:

  • Pelaku dan korban hanya berdua
  • Saksi langsung tidak ada
  • Korban anak sering takut bersuara
  • Pengakuan pelaku kerap dicabut

Sedangkan dalam UU Perlindungan Anak, alat bukti bisa berupa:

  • Keterangan korban
  • Keterangan ahli (dokter forensik, psikolog)
  • Surat visum et repertum
  • Alat bukti elektronik (rekaman CCTV, chat, dsb.)

Artinya, dari sisi pembuktian, hukum nasional jauh lebih fleksibel dan realistis untuk melindungi anak korban kekerasan seksual.


Dampak bagi Korban Anak di Aceh

Jika perkara pencabulan anak diproses menggunakan Qanun Jinayat, konsekuensinya:

  • Ancaman hukuman lebih ringan (maksimal 90 kali cambuk atau pidana penjara maksimal 90 bulan)
  • Mekanisme pembuktiannya berat
  • Proses hukum di Mahkamah Syariah kerap lebih lambat karena prosedur syariah formal

Sedangkan bila diproses berdasarkan UU Perlindungan Anak:

  • Ancaman hukuman lebih berat (hingga 15 tahun penjara)
  • Mekanisme pembuktian lebih ramah korban
  • Hak-hak anak untuk pendampingan psikologis dan hukum lebih terjamin
  • Restitusi dan kompensasi bagi korban bisa dituntut

Karena itu, dalam konteks perlindungan anak sebagai kelompok rentan, semestinya hukum yang digunakan adalah yang paling memberikan keadilan bagi korban, bukan sekadar keadilan bagi norma syariat formal.


Pilihan Hukum: Hakim dan Jaksa Harus Cermat

Dalam praktik peradilan di Aceh, banyak kasus pencabulan anak akhirnya tetap diproses menggunakan UU Perlindungan Anak di Pengadilan Negeri, bukan di Mahkamah Syariah. Ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum di Aceh mulai menyadari bahwa ada kekurangan dalam penerapan Qanun Jinayat untuk perkara khusus anak.

Namun demikian, ada pula kasus-kasus yang dipaksakan ke Mahkamah Syariah dengan konsekuensi:

  • Prosesnya lebih lambat
  • Mekanisme saksi syariat sulit dipenuhi
  • Vonis lebih ringan dari ketentuan nasional

Jika ini terus terjadi, maka keadilan substantif bagi korban anak di Aceh terancam.


Rekomendasi: Perlu Qanun Jinayat Khusus Anak

Aceh perlu segera merevisi Qanun Jinayat atau membuat Qanun khusus tentang kekerasan seksual terhadap anak. Qanun ini harus:

  • Mengatur ancaman pidana minimal setara dengan UU Perlindungan Anak
  • Mengakomodir alat bukti ilmiah (visum, CCTV, chat, keterangan ahli)
  • Menjamin hak anak korban untuk pendampingan psikologis dan hukum
  • Menyediakan restitusi dan kompensasi
  • Mempermudah pembuktian tanpa syarat saksi syariat yang memberatkan korban

Jika tidak, maka Aceh akan terus berada dalam dilema moral dan hukum, antara menjunjung syariat atau menyelamatkan anak.


Penutup: Syariat Itu Rahmat, Bukan Derita bagi Anak

Syariat Islam sejatinya hadir untuk melindungi yang lemah. Anak-anak adalah amanah umat, bukan korban aturan. Jika Aceh ingin benar-benar bersyariat, maka perlindungan anak harus menjadi prioritas utama. Jangan biarkan syariat menjadi alat ketidakadilan bagi korban anak.

Hukum yang baik bukan hukum yang keras terhadap korban dan ringan terhadap pelaku, melainkan hukum yang berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan perlindungan hak paling dasar, termasuk hak anak untuk hidup aman dan bermartabat.

Anak-anak Aceh berhak hidup tanpa ketakutan, tanpa ancaman kekerasan, dan tanpa trauma hukum. Pilihan hukum ada di tangan kita.


Azhari 

Ketua GPPM Aceh