Menyelamatkan Hutan Aceh Pasca Damai – Ke Mana Pemimpin dan Wakil Rakyat Aceh
Oleh: Azhari
Aceh, negeri yang dahulu dikenal dengan hutan lebatnya yang membentang dari pegunungan hingga pesisir, kini perlahan-lahan mengalami degradasi ekologis yang kian mengkhawatirkan. Padahal, sejak kesepakatan damai MoU Helsinki 2005, Aceh mendapatkan kesempatan emas untuk membangun kembali tidak hanya sektor sosial dan ekonomi, tetapi juga melestarikan alam sebagai warisan masa depan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—kerusakan hutan terus meningkat, terutama oleh aktivitas perambahan ilegal yang melibatkan oknum-oknum pengusaha, seringkali dengan restu diam-diam dari para elit kekuasaan. Maka muncul pertanyaan: ke mana para pemimpin Aceh dan wakil rakyat saat hutan Aceh digerogoti?
Hutan Aceh: Benteng Ekologi dan Identitas
Hutan Aceh bukan sekadar lahan kosong penuh pepohonan. Ia adalah sumber kehidupan. Sungai-sungai yang mengalir dari Leuser, udara yang bersih, hujan yang teratur, dan bahkan ekosistem satwa langka seperti harimau, gajah, dan orangutan bergantung padanya. Di tengah krisis iklim global, hutan Aceh merupakan paru-paru hijau yang strategis bagi Indonesia bahkan dunia. Hutan juga menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Aceh, terutama masyarakat adat yang hidup berdampingan secara harmonis dengan alam.
Namun ironisnya, dalam dua dekade pasca-damai, narasi pembangunan sering kali bertabrakan dengan kepentingan lingkungan. Perizinan tambang, pembukaan perkebunan sawit, pembangunan infrastruktur tanpa kajian dampak lingkungan yang komprehensif, dan pembiaran perambahan liar menjadi momok nyata yang menggerogoti hutan.
Peran Oknum Pengusaha dan Mafia Tanah
Tak bisa dimungkiri bahwa banyak kerusakan hutan Aceh terjadi bukan karena kebutuhan rakyat miskin, melainkan karena kerakusan oknum pengusaha yang ingin mengeruk keuntungan jangka pendek. Modusnya beragam: dari penggunaan izin HGU (Hak Guna Usaha) yang bermasalah, hingga penguasaan lahan di kawasan hutan lindung melalui manipulasi peta, suap, dan kolusi. Para pelaku perambahan hutan seringkali bukan orang sembarangan. Mereka punya akses ke kekuasaan, modal, bahkan—sayangnya—dukungan senyap dari beberapa elite politik dan birokrasi.
Diamnya Para Pemimpin dan Wakil Rakyat Aceh
Di sinilah letak kekecewaan publik yang makin mendalam. Dalam sistem pemerintahan otonomi khusus, Aceh memiliki kewenangan lebih dalam mengatur sumber daya alamnya. Namun, banyak kalangan menilai bahwa wewenang ini justru dijadikan alat tawar-menawar politik dan ekonomi oleh elit lokal. Sejumlah pejabat yang seharusnya menjadi garda depan penyelamatan lingkungan malah sibuk membangun dinasti politik atau memperkaya diri sendiri.
DPR Aceh yang semestinya menjadi pengawas utama kebijakan lingkungan, terlihat pasif. Rapat-rapat tentang kehutanan tak pernah menghasilkan langkah konkret. Rancangan qanun lingkungan tertinggal di meja birokrasi. Bahkan dalam beberapa kasus, wakil rakyat justru terlibat dalam pembelaan proyek-proyek bermasalah yang berisiko tinggi terhadap lingkungan.
Kemana Arah Penegakan Hukum?
Penegakan hukum atas perusakan hutan di Aceh masih lemah. Beberapa kasus besar yang terungkap, hanya menyasar pelaku kecil, sementara aktor utama di belakang layar tetap bebas berkeliaran. Aparat penegak hukum kerap terkendala bukti atau bahkan enggan mengusut kasus-kasus yang menyentuh pengusaha besar dan pejabat daerah.
Masyarakat adat dan aktivis lingkungan yang mencoba melawan, kerap diintimidasi, dikriminalisasi, atau dilabeli sebagai penghambat pembangunan. Ironis, di tengah semangat reformasi dan damai, hukum masih belum berdiri tegak untuk hutan.
Solusi: Kembali ke Akar, Tegakkan Moral dan Aturan
Jika Aceh ingin menyelamatkan hutannya, maka harus ada perubahan paradigma yang serius di tingkat kepemimpinan. Pertama, pemimpin Aceh harus berani memutus mata rantai ekonomi-politik yang merusak hutan. Reformasi birokrasi kehutanan mutlak diperlukan. Kedua, DPR Aceh perlu mendorong lahirnya Qanun Perlindungan Hutan yang kuat, lengkap dengan sanksi tegas bagi pelaku korporasi dan pejabat yang menyalahgunakan wewenang. Qanun ini harus disusun bersama masyarakat sipil, tokoh adat, dan pakar lingkungan agar tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi juga mengakar dalam kesadaran kolektif masyarakat.
Ketiga, perlindungan terhadap masyarakat adat harus ditegaskan. Mereka adalah garda terdepan penjaga hutan yang terbukti mampu menjaga keseimbangan ekologi selama berabad-abad. Hak ulayat harus diakui secara hukum dan dilindungi dari upaya pengambilalihan oleh perusahaan besar.
Keempat, penting membangun sistem pemantauan berbasis teknologi, termasuk pemetaan partisipatif dan keterlibatan kampus-kampus di Aceh. Dengan dukungan data terbuka dan teknologi satelit, masyarakat sipil dapat dilibatkan langsung dalam pengawasan perambahan hutan secara independen.
Kelima, aparat penegak hukum dan lembaga pengawasan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dilibatkan secara lebih intensif dalam menyelidiki skema-skema kejahatan lingkungan di Aceh. Bila perlu, bentuk tim investigasi gabungan untuk menelusuri alur perizinan yang bermasalah hingga ke aktor-aktor besar di balik layar.
Menanti Pemimpin yang Punya Nyali
Krisis hutan Aceh hari ini bukan semata masalah lingkungan, tetapi juga krisis moral kepemimpinan. Aceh membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai berpidato atau sibuk menata citra di media sosial, melainkan berani bertindak meski harus melawan arus elite.
Wakil rakyat yang dipilih oleh suara rakyat mestinya menjadi penyambung lidah rakyat—bukan menjadi broker proyek atau pelindung konglomerat perusak hutan. Sudah saatnya rakyat Aceh menagih tanggung jawab politik dan moral para pemimpin yang telah diberikan amanah.
Aceh hari ini tidak kekurangan aturan, tidak kekurangan data, bahkan tidak kekurangan dana. Yang kurang adalah kemauan dan keberanian. Di tengah ancaman bencana ekologis, banjir, longsor, hingga krisis air bersih, apakah kita masih ingin diam?
Akhir Kata: Hutan Adalah Nafas Kita
Menjaga hutan bukan soal idealisme kosong, tapi tentang menyelamatkan hidup. Bagi Aceh, hutan bukan hanya paru-paru alam, melainkan juga paru-paru sejarah, budaya, dan spiritualitas. Ketika hutan hilang, bukan hanya pohon yang tumbang, tapi juga martabat dan masa depan kita sebagai bangsa.
Mari kita hentikan sikap pura-pura tidak tahu. Mari tuntut kepemimpinan yang berpihak pada keberlanjutan, bukan sekadar pembangunan jangka pendek. Karena bila hutan habis, kita akan hidup dalam ketakutan, dan generasi mendatang hanya mewarisi cerita—bukan kehidupan.
Aceh yang damai harus menjadi Aceh yang lestari.
Karena damai tanpa keberlanjutan, hanya akan menjadi jeda sebelum bencana berikutnya.
Penulis Azhari