Saleh Adri: Pejuang Kemerdekaan yang Jadi Pentolan DI/TII di Gayo
Oleh: Azhari
Di balik sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia dan babak gelap pemberontakan DI/TII, terdapat sosok-sosok lokal yang memainkan peran penting namun sering terabaikan dalam narasi besar nasional. Salah satunya adalah Saleh Adri, tokoh asal Tanah Gayo, yang hidup dalam persimpangan antara nasionalisme dan idealisme Islam. Ia bukan hanya seorang birokrat daerah biasa, melainkan pemimpin yang menjelma menjadi simbol perlawanan, baik terhadap kolonialisme maupun ketimpangan dalam negara yang baru lahir.
Dari Pejuang Kemerdekaan ke Bupati DI/TII
Saleh Adri pernah menduduki jabatan strategis sebagai anggota Badan Pekerja DPR Aceh Tengah, dan kemudian menjadi Kepala Bagian Politik pada masa transisi awal kemerdekaan. Dalam posisi ini, ia menjadi bagian dari elite administratif lokal yang berusaha membangun tatanan pemerintahan sipil di tengah hiruk-pikuk revolusi.
Namun, sejarah membawa namanya ke panggung yang berbeda—saat konflik ideologi antara pusat dan daerah, antara nasionalisme sekuler dan aspirasi Islam menguat di Aceh. Ketika Tgk. Daud Beureueh menyatakan Aceh sebagai bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1953, Saleh Adri turut ambil bagian dalam struktur pemerintahan alternatif tersebut. Ia diangkat sebagai Bupati DI/TII wilayah Aceh Tengah, sebuah jabatan penting yang menempatkannya sebagai pemimpin sipil di bawah struktur militer dan agama.
Di wilayah Gayo, ia menjadi figur sentral dalam mengoordinasikan gerakan perlawanan, mempertahankan wilayah dari intervensi TNI, sekaligus menjaga stabilitas sosial-politik di tengah kondisi perang saudara yang kompleks.
Figur Gayo yang Teguh dan Dihormati
Keberadaan Saleh Adri dalam jajaran pimpinan DI/TII membuktikan bahwa gerakan ini tidak hanya digerakkan oleh tokoh-tokoh dari pesisir atau etnis Aceh saja, tetapi juga oleh tokoh Gayo yang memiliki kegelisahan serupa terhadap sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Dalam banyak testimoni lisan masyarakat Gayo, Saleh Adri digambarkan sebagai sosok berani, tegas, dan tidak tergoda oleh kompromi-kompromi kekuasaan.
Ia berdiri sejajar dengan nama besar lain seperti Tgk. Ilyas Leubeu, pejuang karismatik dari dataran tinggi. Keduanya menjadi simbol bahwa semangat perlawanan terhadap ketidakadilan bukan milik satu etnis atau wilayah, tetapi merupakan kegelisahan kolektif rakyat Aceh terhadap realitas politik yang mengingkari semangat perjuangan awal kemerdekaan.
Melihat Ulang Narasi "Pemberontakan"
Sejarah resmi negara sering menempatkan tokoh-tokoh DI/TII sebagai "pemberontak", tanpa memberi ruang cukup untuk memahami akar dari pemberontakan itu sendiri. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, gerakan ini lahir dari kekecewaan mendalam atas janji-jani politik yang tidak ditepati, termasuk soal otonomi Aceh, pengakuan syariat Islam, dan penghormatan terhadap struktur sosial-budaya lokal.
Dalam konteks ini, Saleh Adri bukan sekadar “pemberontak”, tetapi juga seorang idealis yang merasa bahwa perjuangan belum selesai meski Indonesia telah merdeka secara formal. Ia memilih jalan berisiko demi memperjuangkan visi masyarakat yang lebih adil menurut keyakinannya, meskipun harus berhadapan dengan aparat negara yang dahulu sama-sama memperjuangkan kemerdekaan.
Warisan yang Terlupakan
Sayangnya, jejak sejarah Saleh Adri dan tokoh-tokoh seangkatannya jarang terdokumentasi secara resmi. Kisah mereka lebih banyak hidup dalam narasi lisan, dalam memori kolektif keluarga, atau terkubur dalam laporan-laporan militer. Ini adalah bagian dari tragedi sejarah di mana pemenang bukan hanya menentukan akhir konflik, tetapi juga membentuk narasi yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Padahal, mengenang tokoh seperti Saleh Adri bukan berarti mengglorifikasi pemberontakan, tetapi mempelajari kompleksitas sejarah. Bahwa Indonesia tidak dibangun dari satu suara, tetapi dari keragaman jalan, pilihan, dan bahkan perlawanan yang harus dilihat dengan kacamata yang lebih jernih.
Waktu untuk Rekonsiliasi Sejarah
Kini, saat republik telah berusia lebih dari tujuh dekade, sudah saatnya kita membuka ruang rekonsiliasi sejarah. Kita perlu menempatkan tokoh-tokoh seperti Saleh Adri bukan semata sebagai