Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pengabdian Profesor untuk Aceh: Antara Kontribusi Nyata dan Tantangan Gagasan

Sabtu, 19 Juli 2025 | 23:47 WIB Last Updated 2025-07-19T16:52:05Z



Di tengah riuh rendah dunia akademik dan dinamika sosial-politik Aceh, pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan adalah: sudah sejauh mana para profesor asal Aceh memberikan kontribusi nyata untuk tanah kelahirannya? Dalam masyarakat yang pernah menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tenggara, seperti Kesultanan Aceh Darussalam, kehadiran kaum intelektual — terlebih mereka yang menyandang gelar tertinggi dalam dunia ilmu — sejatinya bukan hanya simbol kehormatan, tetapi juga penentu arah perubahan.

Antara Gelar dan Gagasan

Profesor bukan sekadar gelar akademik. Ia adalah predikat yang memuat tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual. Namun hari ini, banyak dari para profesor — baik yang menetap di Aceh maupun di luar — lebih dikenal karena titel, bukan karena terobosan gagasan atau peran mereka dalam mengurai benang kusut persoalan Aceh. Padahal, tanah rencong ini masih berhadapan dengan kompleksitas masalah seperti kemiskinan, ketimpangan pendidikan, konflik agraria, krisis etika, hingga ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Tentu tidak semua profesor absen. Beberapa masih setia mendedikasikan diri dalam kajian, pendampingan masyarakat, dan pengembangan kebijakan berbasis riset. Namun harus diakui, tantangan terbesar adalah: bagaimana gagasan-gagasan mereka bisa menjelma menjadi aksi nyata, bukan hanya berakhir di seminar-seminar dan jurnal terindeks Scopus yang tidak dibaca oleh petani, nelayan, atau guru di pedalaman Aceh.

Kontribusi Nyata: Antara Mimpi dan Realita

Beberapa contoh inspiratif memang ada. Profesor yang mengembangkan teknologi pengeringan ikan di Aceh Timur, profesor hukum syariah yang konsisten mendampingi implementasi qanun, hingga profesor pertanian yang membina koperasi petani. Tapi kontribusi seperti ini masih sebatas titik-titik kecil di tengah lautan luas persoalan Aceh.

Pertanyaannya: mengapa belum banyak profesor yang turun gunung?

Pertama, karena sistem birokrasi yang tidak mendukung inovasi. Banyak gagasan progresif mandek di meja pejabat yang lebih suka proyek instan ketimbang riset jangka panjang.

Kedua, karena dunia akademik kita kadang terjebak pada formalitas. Profesor sibuk memenuhi angka kredit, bukan membangun keberlanjutan.

Ketiga, karena belum terbangun ekosistem kolaboratif antara kampus, masyarakat, dan pemerintah daerah.

Tantangan Gagasan di Era Pascadamai

Aceh pasca-MoU Helsinki 2005 membutuhkan pencerahan intelektual. Daerah ini butuh pemikiran jernih, bukan hanya pidato politik dan seremonial adat. Profesor semestinya mengambil peran utama sebagai pengarah moral, pencipta solusi, dan pelurus kebijakan. Namun yang terjadi seringkali sebaliknya: profesor ditarik ke kubu politik, menjadi silent partner kekuasaan, atau bahkan ikut dalam pragmatisme elite.

Tantangan gagasan terbesar hari ini adalah bagaimana menjadikan kampus sebagai pusat solusi sosial. Universitas di Aceh, dari Unsyiah hingga kampus-kampus swasta di pelosok, seharusnya tidak hanya mendidik, tetapi juga menyinari. Aceh butuh gagasan tentang reformasi birokrasi adat, kebijakan pertanahan berbasis keadilan, strategi ekonomi maritim, dan pemetaan ulang Qanun yang pro-rakyat.

Semua ini menuntut keterlibatan profesor sebagai penyambung akal sehat publik — bukan hanya pengabdi akreditasi.

Harapan pada Generasi Baru Akademisi

Perlu regenerasi intelektual yang radikal. Profesor muda Aceh mesti berani menggabungkan idealisme akademik dengan aktivisme sosial. Jangan hanya bangga dengan index Google Scholar, tapi beranilah hadir di tengah masyarakat — menyentuh luka mereka, mendengarkan keresahan mereka, dan membangun bersama mereka.

Gelar profesor semestinya menjadi wasilah (perantara) kemajuan Aceh, bukan hanya prestise pribadi. Ketika ilmu bertemu ketulusan, maka perubahan akan lahir.

Penutup: Saatnya Bangkit dengan Ilmu

Aceh hari ini membutuhkan bukan hanya politisi, tapi juga pemikir. Bukan hanya investor, tapi juga inovator. Profesor adalah sosok yang bisa menjembatani itu semua. Maka, kita berharap dan mendorong agar para profesor Aceh — di mana pun mereka berada — kembali turun gunung, bukan untuk berebut posisi, tetapi untuk membebaskan rakyat dari ketidaktahuan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Pengabdian itu bukan soal di mana Anda tinggal, tapi ke mana ilmu Anda diarahkan.


Penulis: Azhari