Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Poligami dan Tantangannya: Antara Hak Syariat, Realitas Sosial, dan Keadilan

Sabtu, 19 Juli 2025 | 21:02 WIB Last Updated 2025-07-19T14:02:40Z



Poligami dan Tantangannya: Antara Hak Syariat, Realitas Sosial, dan Keadilan Gender

Poligami selalu menjadi isu yang memantik perdebatan, antara ruang agama dan kenyataan sosial. Di satu sisi, Islam memberikan ruang terbatas untuk praktik poligami sebagai rukhshah (keringanan), di sisi lain, tantangan dalam penerapannya justru menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki mampu mengemban amanah poligami dengan adil dan bertanggung jawab.

Pertanyaannya kini: Masih relevankah poligami di era modern ini? Dan bagaimana tantangan sosial, hukum, dan moral dalam pelaksanaannya?


Poligami dalam Perspektif Syariat

Poligami dalam Islam bukanlah perintah, tetapi izin bersyarat. Al-Qur’an membolehkan laki-laki menikahi hingga empat perempuan, dengan syarat utama: keadilan.

“… Maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja…” (QS. An-Nisa: 3)

Ayat ini secara tegas mengisyaratkan bahwa keadilan adalah syarat mutlak. Dan keadilan bukan hanya dalam materi, tetapi juga dalam waktu, perhatian, kasih sayang, dan perasaan. Dalam praktiknya, keadilan emosional ini hampir mustahil dicapai, bahkan oleh para sahabat nabi sekalipun.

Poligami di masa Rasulullah SAW umumnya dilandasi oleh pertimbangan kemanusiaan dan sosial: melindungi janda sahabat yang wafat di medan perang, menolong perempuan yang tak memiliki penyangga hidup, atau menjaga kehormatan keluarga tertentu. Bukan semata-mata dorongan syahwat atau keinginan pribadi.


Tantangan Sosial dalam Praktik Poligami

Di zaman modern, praktik poligami menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks:

1. Krisis Keadilan dalam Rumah Tangga

Banyak praktik poligami yang justru menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Istri pertama merasa dikhianati, anak-anak bingung, dan keluarga besar pecah karena ketidakjujuran atau ketidaksiapan psikologis.

Alih-alih menjadi ladang pahala, poligami yang dilakukan tanpa tanggung jawab justru menjadi sumber kezaliman terhadap perempuan dan anak.

2. Praktik Poligami Ilegal dan Tidak Transparan

Fenomena pernikahan siri, tanpa izin istri pertama, tanpa pencatatan negara, marak terjadi. Bahkan ada yang menggunakan celah hukum untuk menikah di luar wilayah domisili guna menghindari proses legal formal.

Akibatnya, hak-hak perempuan dan anak dari istri kedua kerap tidak diakui secara hukum. Status pernikahan kabur, warisan jadi sengketa, dan anak-anak jadi korban status sosial.

3. Stigma Sosial dan Tekanan Emosional

Banyak perempuan yang dipoligami mengalami tekanan batin, bahkan depresi. Mereka sering kali mengalami pengucilan, dianggap tidak layak dipertahankan, atau dituduh sebagai istri yang “tidak sempurna”.

Di sisi lain, istri kedua pun kerap dipersepsikan negatif oleh masyarakat, padahal bisa jadi ia juga korban keadaan atau manipulasi.

4. Ketidaksiapan Laki-laki Secara Mental dan Ekonomi

Tidak sedikit laki-laki yang menjadikan poligami sebagai pembenaran ego, bukan solusi. Padahal Islam sangat menekankan kemampuan, kematangan, dan kesiapan finansial dalam berumah tangga.


Qanun dan Regulasi: Mewujudkan Poligami yang Bertanggung Jawab

Aceh sebagai daerah yang menjalankan syariat Islam secara legal melalui Qanun, memiliki peluang besar untuk mengatur praktik poligami secara lebih bertanggung jawab dan manusiawi. Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Keluarga misalnya, telah mengatur syarat-syarat ketat untuk pernikahan kedua.

Namun dalam praktiknya, masih banyak celah yang digunakan untuk menghindari regulasi ini. Oleh karena itu, penguatan aturan qanun perlu ditingkatkan, termasuk:

  • Wajib izin tertulis dari istri pertama
  • Penilaian kelayakan ekonomi dan mental dari Mahkamah Syar’iyah
  • Sanksi administratif bagi yang menikah tanpa izin atau di luar prosedur
  • Perlindungan hukum dan sosial bagi anak dan istri kedua

Poligami yang dijalankan dalam sistem legal akan melindungi semua pihak, dan menghindarkan masyarakat dari fitnah, konflik sosial, dan luka generasi.


Motivasi dan Renungan: Apakah Kamu Siap Bertanggung Jawab?

Bagi para lelaki yang ingin berpoligami, tanyakan kembali pada hati nuranimu:
Apakah kamu ingin membangun rumah tangga, atau hanya mengejar kesenangan baru?
Apakah kamu siap berlaku adil, atau hanya ingin menghindari tanggung jawab dari rumah pertama?
Dan yang paling penting, apakah kamu sudah jujur pada dirimu sendiri, bahwa poligami bukan ajang pembuktian ego, tapi ladang ujian keimanan?

Bagi para perempuan, perlu ada ruang untuk menyuarakan hak dan kepedihan mereka. Karena Islam tidak menyuruh wanita diam dan menahan sakit. Islam mendorong keadilan, perlindungan, dan penghormatan atas martabat mereka.


Penutup: Poligami Bukan Jalan Pintas, Tapi Jalan Terjal

Poligami bukan larangan, tapi juga bukan kemewahan yang bebas diambil siapa saja. Ia adalah jalan terjal, penuh tanggung jawab, dan harus dijalankan dengan adil, jujur, serta legal.

Tanpa kontrol hukum dan moral, poligami hanya akan meninggalkan jejak luka. Maka mari kita kuatkan regulasi, tingkatkan kesadaran, dan jadikan nilai-nilai Islam sebagai cahaya, bukan sebagai dalih untuk menyakiti.


“Islam tidak pernah membenarkan kezaliman, bahkan dalam cinta.”