Rintihan Anak Korban Konflik Aceh — “Ayahku Gugur, Tapi Apakah Kami Juga Harus Mati dalam Sunyi?
Oleh: Azhari
Di sudut sunyi kampung yang tak lagi ramai, di antara reruntuhan sejarah yang belum disusun kembali, kami berdiri—anak-anak yang tumbuh tanpa bayang ayah. Ayah kami tidak pergi untuk selamanya karena ajal biasa, tapi karena peluru konflik yang merenggut banyak kehidupan di tanah Aceh.
Kami bukan sekadar yatim, kami adalah anak-anak korban konflik. Tapi apakah ada yang benar-benar peduli?
Ayah Gugur, Masa Depan Pun Terkubur
Saya masih ingat wajah ayah—tegas, penuh semangat saat menggendong saya di usia lima tahun. Namun ingatan itu terhenti di satu sore berdarah, saat desa kami dikepung, saat dentuman senjata menggantikan suara azan. Ayah tak pulang sejak itu. Ia tidak mati karena penyakit, tetapi karena mempertahankan marwah, tanah, dan harga diri. Tapi apakah kami, anak-anaknya, juga harus kehilangan masa depan karena itu?
Ketika ayah meninggal, bukan hanya pelindung keluarga kami yang hilang. Kami kehilangan sumber kasih sayang, kehilangan arah, dan kehilangan akses terhadap pendidikan. Sekolah menjadi tempat asing karena tak ada ongkos. Dunia seolah bergerak tanpa kami.
Luka yang Tak Pernah Diobati
Selama ini, dunia bicara tentang rekonsiliasi, perdamaian, dan pembangunan. Tapi entah kenapa, kami—anak-anak korban konflik—tidak pernah disebut dalam pidato pembangunan itu. Tidak ada program khusus untuk mengembalikan senyum kami yang hilang. Tidak ada jaminan pendidikan, tidak ada konseling trauma, bahkan sekadar beasiswa pun terasa seperti angan di bawah langit yang mendung.
Kami sering bertanya, apakah negara dan pemimpin kami lupa pada kami?
Kami Tidak Butuh Kasihan, Kami Butuh Kesempatan
Kami bukan ingin dikasihani. Kami hanya ingin kesempatan yang sama untuk hidup seperti anak-anak lainnya. Kami ingin belajar, ingin menjadi dokter, guru, pemimpin, bahkan mungkin aktivis perdamaian. Tapi bagaimana bisa kami melangkah jika akses tertutup sejak awal?
Kami ingin keluar dari bayang-bayang konflik yang tak kami pilih. Kami ingin dikenali bukan sebagai korban, tetapi sebagai penyintas yang bangkit dan menjadi cahaya.
Aceh Hari Ini, Jangan Lupakan Luka Kemarin
Jika Aceh hari ini bicara tentang kemajuan, maka jangan biarkan ada satu anak pun yang tertinggal dalam gelap. Perdamaian bukan hanya tentang tidak terdengar tembakan, tetapi tentang hadirnya keadilan sosial dan kasih sayang yang menyeluruh, terutama bagi mereka yang paling terdampak.
Kami percaya, jika ada niat baik dari para pemimpin dan masyarakat, luka itu bisa dijahit perlahan. Pendidikan gratis, beasiswa bagi anak yatim korban konflik, program dukungan mental, dan ruang untuk berkarya adalah bentuk nyala harapan yang kami nanti.
Penutup: Suara Kami Masih Ada
Kami mungkin tidak lagi menangis, tapi luka itu belum sembuh. Kami masih menanti tangan yang menyentuh dan berkata, “Kalian tidak sendiri.” Jangan biarkan kami bertanya terus, “Kenapa tidak ada yang peduli?”
Sebab hari ini kami adalah anak-anak yang kehilangan, tapi esok kami bisa menjadi pilar perdamaian Aceh—asal diberi kesempatan.
Dan bagi semua orang dewasa, pemimpin, dan mereka yang sedang berkuasa: jangan biarkan kami tumbuh menjadi generasi yang merasa ditinggalkan oleh tanah kelahiran sendiri.
“Ayahku gugur demi masa depan Aceh. Maka biarkan aku tumbuh untuk melanjutkan harapan itu, bukan terkubur dalam sunyi dan sepi.”