Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Ruang Diskusi Pemuda, Antara Dunia Digital dan Ruangan

Senin, 14 Juli 2025 | 23:56 WIB Last Updated 2025-07-14T16:57:00Z



Ruang Diskusi Pemuda, Antara Dunia Digital dan Ruangan


Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, ruang-ruang diskusi pemuda kini mengalami pergeseran bentuk. Dulu, diskusi kerap dilakukan di balai-balai desa, warung kopi, aula kampus, atau di sudut lapangan sambil meneguk kopi hitam Aceh. Kini, diskusi-diskusi itu lebih banyak berpindah ke ruang digital: grup WhatsApp, kanal Telegram, hingga kolom komentar media sosial.

Pertanyaannya, apakah peralihan ini mendorong produktivitas intelektual pemuda, atau justru membatasi nilai-nilai dialogis dan adab bertukar pikiran yang selama ini diwariskan secara kultural?

Tradisi Diskusi Ruangan: Sekolah Moral yang Nyata

Ruang diskusi di Aceh, seperti di warung kopi, meunasah, aula organisasi, dan rumah-rumah tokoh, dulunya bukan sekadar tempat berbincang. Di sana ada hierarki moral, etika berbicara, dan adab menyanggah. Orang muda belajar mendengar sebelum berbicara, menyusun gagasan sebelum melontarkan kritik, serta memahami posisi lawan bicara sebelum memberi komentar.

Diskusi langsung di ruangan membuat kita belajar membaca ekspresi, gestur, dan intonasi lawan bicara. Kita belajar sabar menunggu giliran bicara. Kita juga paham betapa pentingnya merawat hubungan sosial meski berbeda pandangan.

Ruang-ruang ini telah lama menjadi laboratorium sosial tempat ide-ide pergerakan, perjuangan politik, hingga gagasan pemberdayaan masyarakat lahir. Dari ruang diskusi kecil di sudut dayah hingga forum mahasiswa, banyak perubahan besar Aceh bermula di sana.

Dunia Digital: Mudah, Cepat, Tapi Rentan

Kemunculan media sosial, grup percakapan, dan forum daring memberi peluang baru bagi pemuda. Gagasan bisa dilempar ke ruang publik tanpa perlu bertemu fisik. Informasi bisa viral dalam hitungan detik. Semua orang punya akses yang sama untuk berbicara, tanpa harus menunggu giliran.

Namun di balik kemudahan itu, dunia digital menyimpan tantangan serius. Diskusi kerap berubah menjadi debat kusir tanpa arah. Adab bertukar pikiran tergantikan oleh komentar sarkas, hoaks, dan saling serang personal. Tak sedikit pula diskusi digital berujung perpecahan karena minimnya kontrol etika.

Lebih fatal lagi, karena terbatasnya konteks, pesan yang diketik bisa disalahpahami. Diskusi yang semestinya memperkaya wawasan malah melahirkan konflik emosional. Kita mulai kehilangan tradisi mendengar dan menghargai pendapat orang lain.

Antara Efisiensi dan Substansi

Perlu diakui, dunia digital memberikan efisiensi. Pemuda bisa berdiskusi lintas daerah, bahkan lintas negara, tanpa batas waktu dan tempat. Ide-ide bisa disebar luas dalam waktu cepat. Tetapi, apakah diskusi itu menghasilkan gagasan yang benar-benar terukur, terstruktur, dan bisa diimplementasikan di lapangan?

Banyak ruang diskusi digital sekadar jadi tempat curhat, unjuk eksistensi, atau sekadar meramaikan isu sesaat tanpa ada tindak lanjut. Sedangkan diskusi di ruangan, meski lambat dan terbatas jumlah peserta, kerap menghasilkan keputusan strategis, konsolidasi, dan langkah konkret.

Mengapa Keduanya Harus Sejalan

Pemuda Aceh dan Indonesia umumnya tak boleh terjebak dalam dikotomi ruang diskusi digital versus ruangan. Keduanya harus berjalan beriringan. Dunia digital bisa jadi alat pemantik gagasan, sementara ruang diskusi fisik menjadi tempat memperdalam, mematangkan, dan mengeksekusi ide-ide itu.

Forum daring bisa membangun kesadaran isu secara masif, sementara forum tatap muka membangun kedewasaan intelektual dan solidaritas emosional. Diskusi digital harus diakhiri dengan pertemuan nyata. Begitu pula diskusi ruangan, hasilnya perlu dipublikasikan ke ruang digital agar menjangkau khalayak lebih luas.

Kunci kemajuan intelektual pemuda terletak pada keseimbangan ini: cepat tapi tetap beretika, luas tapi tetap bertanggung jawab, bebas tapi tetap terarah.

Penutup

Kita tidak bisa memungkiri bahwa zaman sudah berubah. Teknologi adalah keniscayaan. Namun, nilai-nilai kearifan lokal, etika berdiskusi, dan budaya dialog Aceh yang diwariskan orang tua kita tak boleh hilang.

Saatnya pemuda Aceh dan Indonesia membangun kembali ruang-ruang diskusi yang sehat — baik di dunia digital maupun di ruangan. Karena dari sanalah masa depan negeri ini ditentukan.

Diskusi tanpa adab melahirkan keributan. Diskusi tanpa ruang melahirkan kehampaan. Dan diskusi tanpa aksi hanya menjadi suara yang tenggelam di antara keramaian.


Azhari,