Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Akhlak di Atas Ilmu: Jalan Lurus Menuju Kebijaksanaan

Kamis, 07 Agustus 2025 | 09:28 WIB Last Updated 2025-08-07T02:28:27Z



Akhlak di Atas Ilmu: Jalan Lurus Menuju Kebijaksanaan

Oleh: Azhari 

Dalam sejarah peradaban manusia, ilmu pengetahuan selalu menjadi pilar utama kemajuan. Namun, tanpa akhlak yang luhur, ilmu dapat menjelma menjadi senjata yang merusak, bukan membangun. Betapa banyak orang cerdas yang menguasai teori dan teknologi, namun justru membawa kehancuran karena kehilangan arah moral. Sebaliknya, orang yang sederhana tetapi berakhlak, justru menjadi teladan dalam kehidupan sosial.

Hari ini, kita hidup dalam zaman penuh gelar dan kecanggihan informasi. Akademisi, tokoh publik, pemimpin, dan bahkan pendakwah tak sedikit yang menampilkan kecerdasan luar biasa. Namun ironisnya, kecerdasan itu tak selalu dibarengi dengan kearifan akhlak. Di sinilah letak persoalan: ketika akhlak diletakkan di bawah ilmu, maka lahirlah manusia-manusia angkuh, merasa paling benar, paling suci, dan paling pantas menghakimi orang lain.

Akhlak sebagai Fondasi Peradaban

Islam, sejak awal, telah menempatkan akhlak sebagai inti dari ajaran. Rasulullah Muhammad ﷺ tidak diutus semata-mata untuk mencerdaskan umat dalam logika atau teknologi, tetapi untuk menyempurnakan akhlak mulia. Sebagaimana sabdanya:

"Innama bu'itstu li utammima makarimal akhlaq"
(Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia) – HR. Bukhari

Ini berarti bahwa akhlak adalah pondasi dasar, bahkan lebih penting daripada kecerdasan intelektual. Ilmu bisa diajarkan dengan buku dan sekolah, tetapi akhlak hanya bisa ditanamkan dengan keteladanan dan kesadaran hati.

Akhlak bukan hanya sopan santun, tetapi mencakup kejujuran, kerendahan hati, kasih sayang, keadilan, dan empati. Tanpa ini semua, seseorang bisa menjadi ‘alim tetapi zalim, cerdas tapi menghancurkan, hebat tapi menyakiti.

Ilmu yang Tidak Dibarengi Akhlak

Lihatlah dunia hari ini. Banyak koruptor yang lulusan perguruan tinggi ternama. Banyak pembuat kebijakan yang tahu hukum tapi melanggarnya. Banyak ustaz atau penceramah yang menguasai dalil, tetapi menjatuhkan martabat orang lain hanya karena berbeda pandangan. Ini bukan krisis ilmu, tetapi krisis akhlak.

Betapa menyakitkan ketika ilmu dijadikan alat kesombongan. Seseorang merasa dirinya lebih mulia hanya karena berilmu, dan memandang rendah orang lain yang tidak sepandai dirinya. Dalam bahasa Al-Qur’an, sikap ini disebut sebagai istikbar (kesombongan), yang membuat Iblis dilaknat. Bukankah Iblis juga tahu banyak, bahkan lebih dulu mengenal perintah Allah daripada manusia, tetapi kesombongannyalah yang menjatuhkannya?

Dalam dunia pendidikan pun, banyak yang mengejar prestasi akademik tanpa memperhatikan pembentukan karakter. Lulusan-lulusan terbaik tak sedikit yang kehilangan empati dan etika. Mereka mungkin pintar dalam debat dan diskusi, tapi gagal dalam membangun hubungan sosial yang sehat. Apa gunanya ilmu bila tak bisa menjadi cahaya bagi sekitarnya?

Akhlak dan Kerendahan Hati dalam Tradisi Ulama

Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya akhlak sebelum ilmu. Imam Malik, misalnya, sebelum mengajarkan ilmu fikih kepada murid-muridnya, terlebih dahulu mendidik mereka tentang adab terhadap guru, kitab, dan sesama. Imam Syafi’i dikenal bukan hanya karena kejeniusannya dalam ushul fikih, tetapi juga karena kerendahan hati dan penghormatannya terhadap ilmu dan orang lain.

Satu kisah terkenal, ketika Imam Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah berdebat dengan seseorang kecuali aku berharap kebenaran datang melalui lisannya.” Ini adalah puncak dari akhlak dalam keilmuan: berilmu bukan untuk menang, tetapi untuk mencari kebenaran bersama.

Bandingkan dengan suasana hari ini, ketika debat publik penuh caci maki, unggahan media sosial sarat hinaan, dan ilmu digunakan untuk menjatuhkan martabat sesama. Kita butuh kembali pada akhlak. Kita butuh membumikan kelembutan hati dalam kerasnya ruang wacana modern.

Akhlak sebagai Jalan Kebijaksanaan

Ilmu membuat seseorang tahu, tetapi akhlak membuat seseorang bijak. Orang berilmu bisa membuat keputusan, tetapi hanya orang berakhlak yang bisa membuat keputusan yang adil. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya bukan hanya mengejar nilai kognitif, tetapi juga nilai moral.

Sekolah-sekolah, pesantren, universitas, bahkan institusi pemerintahan harus kembali menghidupkan pelajaran akhlak. Bukan hanya sebagai teori, tapi dalam praktik nyata. Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang berilmu dan berakhlak, bukan hanya pintar mengatur, tetapi juga peduli terhadap rakyatnya.

Mendidik Anak dan Generasi Muda: Akhlak Sebelum Ilmu

Generasi hari ini dibesarkan dalam dunia digital yang serba cepat dan instan. Informasi bisa diakses dalam hitungan detik. Namun, tanpa pendampingan akhlak, mereka mudah tersesat dalam lautan hoaks, kebencian, dan egoisme.

Tugas kita sebagai orang tua, guru, dan masyarakat adalah membina akhlak sebelum memberikan beban akademik. Anak-anak harus diajarkan untuk jujur sebelum diajarkan berhitung. Mereka harus belajar menghormati sebelum belajar menuntut. Barulah ilmu menjadi manfaat, bukan bumerang.

 Jadilah Berilmu dan Berakhlak

Ilmu itu penting. Tapi ilmu tanpa akhlak bisa menghancurkan. Dunia tidak kekurangan orang pintar, tetapi sangat kekurangan orang yang bijak dan berakhlak. Kita tidak sedang dalam krisis pendidikan, tetapi dalam krisis keteladanan dan moral.

Mari kita ubah arah pendidikan dan kehidupan. Letakkan akhlak di atas ilmu, karena hanya dengan begitu manusia bisa tumbuh bukan hanya menjadi cerdas, tetapi juga menjadi makhluk yang mulia.