Media sosial, khususnya Facebook, telah menjadi ruang publik terbesar tempat masyarakat mengekspresikan diri. Dari sekadar berbagi kabar, menyampaikan gagasan, hingga melontarkan kritik, semuanya hadir dalam satu ruang tanpa batas. Namun, di balik kebebasan itu, muncul pula budaya sindir-menyindir yang makin lama menjadi racun dalam komunikasi kita.
Budaya sindir ini sering kali dianggap sebagai humor, kritik halus, atau pelampiasan perasaan. Padahal, di ruang digital, sindiran yang dilemparkan tanpa kendali bisa melahirkan salah paham, menyinggung harga diri, bahkan merusak hubungan sosial. Bukan hanya antarindividu, tapi juga antar-kelompok, antar-daerah, hingga antar-bangsa.
Sindiran sebagai Cermin Etika yang Terkikis
Jika dulu masyarakat diajarkan untuk menegur dengan adab, menasihati dengan kasih sayang, dan mengingatkan dengan bijak, kini media sosial memudahkan orang melontarkan kata-kata tanpa filter. Sindiran menjadi jalan pintas: lebih aman daripada menyebut langsung, tapi lebih tajam karena penuh insinuasi.
Inilah yang berbahaya bagi generasi muda. Mereka menyaksikan bagaimana orang dewasa, tokoh masyarakat, bahkan pejabat, saling menyindir di Facebook. Secara tidak sadar, generasi berikutnya belajar bahwa sindiran adalah cara wajar untuk menyampaikan pendapat. Padahal, bangsa besar seharusnya membangun komunikasi yang sehat, bukan menormalisasi perilaku pasif-agresif yang hanya memperlebar jurang.
Tatanan Etika untuk Generasi Masa Depan
Agar bangsa ini tidak tenggelam dalam budaya sindir yang merusak, perlu dibangun tatanan etika digital:
-
Kesadaran Diri – Setiap individu harus memahami bahwa setiap tulisan adalah cerminan dirinya. Kata-kata yang dilempar ke publik akan menempel pada reputasi kita.
-
Budaya Tabayyun – Sebelum menulis, biasakan klarifikasi. Tidak semua hal yang berbeda pendapat perlu ditanggapi dengan sindiran. Kadang cukup dengan bertanya dan mendengarkan.
-
Etika Menegur – Jika memang perlu mengingatkan, lakukan dengan cara pribadi dan penuh hormat. Kritik yang elegan lebih kuat daripada sindiran yang membakar emosi.
-
Literasi Digital di Pendidikan – Sekolah dan kampus harus mengajarkan etika komunikasi digital sebagai bagian dari kurikulum, agar generasi masa depan tumbuh dengan kesadaran moral di dunia maya.
Menuju Peradaban Digital yang Bermartabat
Kita hidup di era di mana satu status Facebook bisa melahirkan perdebatan nasional, satu komentar bisa memicu konflik, bahkan satu sindiran bisa menghancurkan persahabatan. Karena itu, membangun etika digital bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan bangsa.
Jika generasi kita masih sibuk menyindir, maka energi bangsa hanya akan habis untuk saling menjatuhkan. Namun jika kita mampu mengubah budaya sindir menjadi budaya dialog, peradaban digital Indonesia bisa tumbuh dengan bermartabat.
Pada akhirnya, masa depan bangsa bukan ditentukan oleh siapa yang paling pandai menyindir, melainkan siapa yang paling bijak menjaga kata dan membangun persaudaraan.