Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Percintaan Remaja: Antara Zina dan Nikah Paksa

Rabu, 06 Agustus 2025 | 22:47 WIB Last Updated 2025-08-06T15:47:24Z



Remaja dan cinta adalah dua kata yang tak bisa dipisahkan. Masa remaja adalah masa pencarian jati diri, masa eksplorasi emosi, dan masa ketika seseorang mulai merasakan ketertarikan romantis terhadap lawan jenis. Namun, di tengah dinamika perkembangan zaman dan derasnya arus informasi digital, cinta remaja sering kali kehilangan arah. Banyak yang terjebak dalam hubungan seksual di luar nikah (zina), sementara sebagian lainnya dipaksa menikah dini demi menutupi "aib" atau menjaga "nama baik" keluarga.

Fenomena ini bukan hanya tragedi moral, tetapi juga mencerminkan kegagalan sosial dan institusional dalam membina generasi muda. Maka, penting untuk kita refleksikan: mengapa remaja bisa terjebak di antara dua kutub ekstrem ini—antara zina yang merusak dan nikah paksa yang mematikan masa depan?


Zina: Saat Cinta Tak Lagi Suci

Zina bukan sekadar dosa agama, tapi merupakan masalah sosial yang kompleks. Hubungan seksual di luar nikah sering kali berawal dari perasaan cinta yang tak terkendali, kurangnya edukasi, dan lemahnya pengawasan dari orang tua. Banyak remaja yang menyangka bahwa seks adalah bukti cinta, padahal yang mereka alami sering kali hanya nafsu sesaat yang membungkus diri dalam kata-kata manis.

Media sosial, film, sinetron, dan budaya populer lainnya menggambarkan hubungan romantis dan seksual sebagai sesuatu yang normal bahkan glamor. Remaja menjadi konsumennya yang paling rentan. Mereka menyerap nilai-nilai itu tanpa filter, tanpa penyeimbang dari rumah atau sekolah.

Akibatnya, angka kehamilan di luar nikah pada remaja meningkat, kasus aborsi ilegal tak terkendali, dan trauma psikologis menghantui mereka seumur hidup. Dalam masyarakat yang masih konservatif, remaja perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan—dihakimi, dikucilkan, bahkan dipaksa menikah dengan orang yang tak diinginkan hanya karena telah “terlanjur”.


Nikah Paksa: Solusi Semu Penjaga Martabat

Di sisi lain, ketika zina sudah terjadi atau ketika seorang anak menunjukkan tanda-tanda "terlalu dekat" dengan lawan jenis, tak jarang orang tua mengambil jalan pintas: menikahkan mereka. Ini sering disebut sebagai "jalan keluar terbaik", padahal sejatinya adalah bentuk kekerasan yang terselubung.

Nikah paksa masih terjadi di banyak daerah di Indonesia, terutama ketika menyangkut nama baik keluarga atau adat istiadat. Seorang anak perempuan bisa dipaksa menikah karena telah berduaan dengan laki-laki, walau tak terbukti melakukan hubungan seksual. Sementara itu, remaja laki-laki juga sering dipaksa menikah sebagai bentuk tanggung jawab yang tak selalu ia siap jalani.

Pernikahan dini yang tak didasari kesiapan psikologis, finansial, dan emosional, sering kali berakhir dengan perceraian dini, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kemiskinan struktural. Masa depan anak hancur, pendidikan terputus, dan mereka tumbuh dewasa dalam ketidakbahagiaan. Maka, nikah paksa bukanlah solusi dari zina, tapi justru melanggengkan siklus penderitaan.


Mengapa Semua Ini Terjadi?

Pertanyaan besar pun muncul: Mengapa dua ekstrem ini masih mendominasi narasi cinta remaja kita?

  1. Kurangnya Pendidikan Seks yang Holistik
    Pendidikan seks masih menjadi hal yang tabu di banyak sekolah dan keluarga di Indonesia. Padahal, pendidikan ini sangat penting untuk memberikan pengetahuan, nilai, dan kesadaran akan batasan dalam hubungan. Ketika remaja tidak mendapat pendidikan seks yang benar, mereka akan mencarinya sendiri dari sumber yang tidak terpercaya, seperti media sosial, teman sebaya, atau situs-situs pornografi.

  2. Minimnya Komunikasi Orang Tua dan Anak
    Banyak orang tua yang tidak menjadi ruang aman bagi anak. Alih-alih menjadi sahabat tempat berbagi, orang tua justru menjadi hakim yang siap mengadili. Anak pun takut jujur, takut bertanya, dan akhirnya lebih memilih menyembunyikan segalanya. Komunikasi yang buruk inilah yang menjadi akar dari banyak masalah remaja.

  3. Ketimpangan Gender
    Dalam banyak kasus, perempuan selalu menjadi korban. Ketika zina terjadi, perempuan yang disalahkan. Ketika hamil, perempuan yang dipaksa menikah. Sementara laki-laki sering kali tidak menanggung beban yang setara. Ini menunjukkan adanya ketimpangan gender yang masih kuat dalam masyarakat kita.

  4. Adat dan Budaya yang Salah Arah
    Dalam beberapa komunitas, adat justru memperkuat praktik nikah paksa. Demi menjaga nama baik atau menghindari aib, keluarga akan menikahkan anak tanpa memperdulikan hak asasi dan psikologi anak itu sendiri. Padahal, adat seharusnya hadir untuk menjaga dan melindungi, bukan menekan dan merampas hak.

  5. Hukum yang Lemah
    Walau UU Perkawinan telah direvisi menaikkan batas usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun, praktik nikah anak masih marak. Banyak celah hukum dan pengecualian yang bisa dimanfaatkan oleh orang tua untuk menikahkan anaknya. Selain itu, pelaku zina pada remaja sering kali lolos dari jerat hukum atau tidak mendapat pembinaan yang memadai.


Lalu, Apa Solusinya?

Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan menghukum atau menikahkan. Perlu pendekatan sistemik dan berkelanjutan yang melibatkan semua pihak: keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Edukasi Seksual Berbasis Nilai
    Pendidikan seks bukan tentang mengajarkan teknik, tapi membekali remaja dengan pengetahuan dan sikap sehat terhadap tubuh, batasan, relasi, dan tanggung jawab. Pendidikan ini harus mulai dari sekolah dasar dengan pendekatan yang sesuai usia dan konteks budaya.

  2. Kampanye Kesadaran Publik
    Pemerintah, tokoh agama, dan organisasi masyarakat sipil harus aktif melakukan kampanye kesadaran tentang bahaya nikah paksa dan zina remaja. Kampanye ini bisa menggunakan media digital yang akrab dengan remaja, serta melibatkan influencer positif sebagai role model.

  3. Penguatan Peran Orang Tua
    Orang tua harus dididik untuk menjadi pendidik. Program parenting yang membekali orang tua dengan keterampilan komunikasi, psikologi remaja, dan pengasuhan berbasis kasih sayang harus digalakkan di setiap desa, sekolah, dan komunitas.

  4. Penegakan Hukum dan Pengawasan Ketat
    Nikah anak harus benar-benar ditekan, tanpa celah hukum. Aparat dan pejabat pencatat nikah harus menolak segala bentuk dispensasi yang tidak sesuai. Sementara itu, pelaku zina yang merugikan pihak lain (terutama perempuan) harus mendapat konsekuensi hukum dan rehabilitasi sosial.

  5. Membangun Ruang Aman bagi Remaja
    Sekolah dan komunitas perlu menciptakan ruang aman di mana remaja bisa bertanya, berdiskusi, dan mendapat pendampingan. Ruang ini bisa dalam bentuk forum diskusi remaja, layanan konseling, atau mentoring dari kakak-kakak muda yang paham dan peduli.


Penutup: Jagalah Cinta Remaja, Jangan Lukai Mereka

Cinta remaja adalah anugerah, bukan aib. Ia harus dijaga, diarahkan, dan dibimbing dengan penuh kasih sayang dan kebijaksanaan. Jangan biarkan mereka terjebak dalam zina karena kurangnya pemahaman dan pendampingan. Tapi juga jangan paksakan mereka menikah hanya karena tekanan sosial dan budaya.

Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mampu menjaga generasi mudanya. Jika kita terus membiarkan remaja terombang-ambing di antara zina dan nikah paksa, maka kita sedang menggali jurang kehancuran masa depan bangsa sendiri.

Saatnya kita bicara jujur, mendidik dengan cinta, dan menciptakan lingkungan yang benar-benar melindungi remaja. Sebab mereka bukan sekadar penerus bangsa, tapi juga manusia yang berhak atas kebahagiaan, pilihan, dan masa depan yang utuh.


Penulis Azhari 

Dosen universitas Islam Aceh