.
Setiap bulan Agustus, halaman-halaman kampung, sekolah, hingga kantor pemerintah ramai dengan perlombaan. Panjat pinang, lomba makan kerupuk, balap karung, dan tarik tambang seakan menjadi identitas tetap perayaan Hari Kemerdekaan. Tawa, sorak, dan semangat kebersamaan memang terasa hangat. Namun, pernahkah kita bertanya: mengapa perayaan kemerdekaan kita justru mengulang permainan yang pernah dipopulerkan penjajah untuk menghibur diri mereka sendiri?
Jejak Kolonial dalam Tradisi
Panjat pinang, misalnya, sejatinya bukan tradisi asli Indonesia. Ia lahir dari Belanda di masa kolonial, diperuntukkan sebagai hiburan murahan bagi rakyat jajahan saat pesta orang-orang Eropa. Hadiah yang digantung di pucuk pinang hanyalah simbol kebahagiaan palsu: rakyat dipaksa tertawa, meski dalam hidup sehari-hari tetap terjajah, lapar, dan miskin.
Lomba makan kerupuk yang digantung pun sarat simbol. Ia memperlihatkan wajah rakyat yang lapar, berusaha menjangkau makanan dengan cara lucu agar menghibur penonton. Tradisi ini, tanpa kita sadari, masih kita ulangi sebagai bagian perayaan kemerdekaan—padahal ia lahir dari logika kolonial: rakyat dijadikan tontonan, bukan subjek yang dimuliakan.
Refleksi 80 Tahun Merdeka
Kini, setelah 80 tahun Indonesia merdeka, apakah pantas kita masih menertawakan tubuh yang jatuh, wajah yang belepotan, atau orang yang dipermalukan demi hadiah plastik? Apakah kemerdekaan kita hanya sekadar oli di tiang pinang dan karung goni yang lusuh?
Jika kemerdekaan dimaknai sekadar pesta tawa, kita telah gagal memahami esensi perjuangan. Sebab kemerdekaan sejati tidak lahir dari permainan warisan kolonial, melainkan dari akal yang dimerdekakan, ilmu yang diperdalam, seni yang dikembangkan, dan gagasan yang memuliakan manusia.
Merdeka dengan Martabat
Bayangkan jika perayaan kemerdekaan diisi dengan festival ilmu, sayembara gagasan, pameran inovasi, atau pentas seni anak bangsa. Bayangkan jika anak-anak muda lebih bangga menampilkan karya teknologi ketimbang sekadar lomba mengunyah kerupuk. Betapa mulianya jika setiap 17 Agustus kita rayakan dengan menyalakan obor pengetahuan, bukan sekadar menertawakan tubuh yang jatuh di lumpur.
Kemerdekaan bukanlah pesta tubuh, melainkan perayaan martabat. Bukan sekadar oli dan karung, melainkan nalar dan peradaban.
Menafsir Ulang Tradisi
Bukan berarti kita harus menolak seluruh tradisi lomba Agustusan. Nilai kebersamaan, solidaritas, dan kegembiraan tetap penting. Namun, kita perlu menafsir ulang: bagaimana agar perayaan kemerdekaan bukan hanya ritual hiburan, tetapi juga ruang pendidikan, kebudayaan, dan pembentukan karakter bangsa.
Dengan begitu, kita tidak lagi terjebak dalam warisan kolonial yang memalukan, melainkan melahirkan tradisi baru yang mencerminkan bangsa merdeka: berdaulat, bermartabat, dan berperadaban.
Kesimpulan
Panjat pinang dan lomba kerupuk hanyalah metafora bangsa yang gagal memanjat peradaban jika terus kita ulang tanpa makna. Saatnya kita beranjak. Kemerdekaan harus dirayakan dengan akal sehat, karya nyata, dan penghormatan pada martabat manusia.
Karena sejatinya, bangsa merdeka adalah bangsa yang menertawakan penjajah, bukan menertawakan dirinya sendiri.