Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Jejak Persaudaraan yang Hilang di Tengah Zaman Digital pada Generasi Gen Z

Sabtu, 20 September 2025 | 22:30 WIB Last Updated 2025-09-20T15:30:51Z




 Silaturahmi yang Dulu Mengakar

Di masyarakat kita, silaturahmi keluarga bukan sekadar ritual agama, tetapi napas kehidupan sosial. Dahulu, setiap Lebaran menjadi momentum sakral: rumah terbuka, meja penuh hidangan, anak-anak mengenal sepupu, paman, bibi, kakek, dan nenek mereka. Kebiasaan berkunjung dan bercengkerama mengikat emosi antaranggota keluarga.
Kini, pola itu berubah. Era digital melahirkan generasi baru—Gen Z—yang tumbuh bersama gawai, media sosial, dan komunikasi instan. Perubahan ini menghadirkan dilema: hubungan makin mudah dijangkau secara daring, tetapi kehangatan silaturahmi makin memudar.

Silaturahmi dalam Konteks Sosial Budaya

Silaturahmi adalah perekat keluarga besar. Ia menjaga transfer nilai, kearifan lokal, dan identitas budaya. Melalui pertemuan tatap muka, anak-anak belajar sopan santun, mendengar cerita leluhur, dan merasakan solidaritas keluarga. Dalam budaya Aceh dan Nusantara umumnya, konsep “meusapat” atau musyawarah keluarga lahir dari tradisi berkumpul ini.
Ketika pola silaturahmi berubah menjadi sekadar pesan singkat atau unggahan foto, ruang pembelajaran nilai itu ikut menghilang. Generasi Gen Z terancam tumbuh dengan identitas keluarga yang samar, tidak mengenal siapa sepupunya, apalagi akar budayanya.

Generasi Digital: Mobilitas Tinggi dan Individualisme

Generasi Gen Z akrab dengan dunia yang serba cepat. Pendidikan dan pekerjaan mendorong mereka merantau, berpindah kota atau negara. Mobilitas tinggi ini membuat pertemuan fisik dengan keluarga besar semakin jarang.
Di sisi lain, budaya kompetitif membuat waktu terasa sempit. Waktu libur yang sedikit sering digunakan untuk beristirahat atau hiburan pribadi, bukan untuk menjenguk keluarga. Media sosial memang mempermudah komunikasi, tetapi sifatnya instan. Ucapan selamat ulang tahun, lebaran, atau kabar duka hanya berupa teks, stiker, atau emotikon.

Faktor Pendorong Pudarnya Silaturahmi

Beberapa faktor utama yang mempercepat pudarnya silaturahmi pada generasi sekarang antara lain:

  1. Teknologi yang menggeser prioritas – kehadiran fisik dianggap tidak perlu karena sudah ada video call dan grup WhatsApp.
  2. Kesibukan personal – beban kuliah, pekerjaan, dan target pribadi membuat waktu untuk keluarga makin sedikit.
  3. Perubahan nilai sosial – pertemuan keluarga kadang dianggap formalitas atau beban, bukan kebutuhan emosional.
  4. Perbedaan gaya hidup antar generasi – anak muda merasa tidak nyambung dengan obrolan orang tua, sehingga memilih menjauh.

Dampak Sosial dan Psikologis

Melemahnya silaturahmi keluarga membawa dampak nyata:

  • Rapuhnya dukungan emosional. Ketika menghadapi masalah, anak muda kehilangan figur keluarga yang bisa menjadi sandaran.
  • Hilangnya identitas keluarga. Generasi baru tidak mengenal silsilah atau sejarah keluarganya, sehingga mudah tercerabut dari akar nilai.
  • Tumbuhnya individualisme. Semangat gotong royong melemah, solidaritas sosial menurun, dan hubungan antaranggota keluarga lebih transaksional.
  • Kesehatan mental terganggu. Studi menunjukkan, dukungan keluarga besar berkorelasi positif dengan kesehatan mental dan ketahanan menghadapi stres.

Teknologi: Ancaman atau Peluang?

Sebenarnya teknologi bukan musuh silaturahmi. Masalahnya terletak pada cara kita memanfaatkannya. Grup keluarga di WhatsApp, Zoom meeting keluarga, atau berbagi album foto digital bisa memperkuat ikatan bila disertai kesadaran dan diimbangi pertemuan fisik.
Generasi Gen Z justru memiliki keunggulan: mereka menguasai teknologi komunikasi. Tantangannya adalah bagaimana menggunakannya untuk merawat nilai-nilai silaturahmi, bukan sekadar basa-basi.

Menghidupkan Kembali Jejak Persaudaraan

Untuk menghidupkan kembali jejak persaudaraan yang hilang, beberapa langkah praktis bisa dilakukan:

  1. Agenda rutin berkumpul keluarga. Tidak harus mewah; bisa berupa arisan, makan bersama, atau kunjungan sederhana. Yang penting konsisten.
  2. Menggunakan teknologi secara bijak. Grup keluarga bisa digunakan untuk mengatur jadwal bertemu, berbagi cerita sejarah keluarga, atau saling mendukung usaha kecil anggota keluarga.
  3. Menanamkan nilai silaturahmi sejak dini. Anak-anak dibiasakan mengunjungi kakek-nenek, paman-bibi, sehingga mengenal keluarga besar sejak kecil.
  4. Menjadikan momen penting sebagai titik temu. Lebaran, hajatan, wisuda, atau ulang tahun bisa menjadi ajang mempertemukan generasi lintas usia.
  5. Revitalisasi tradisi keluarga. Cerita keluarga, album foto lama, atau silsilah digital bisa menjadi media mengenalkan akar keluarga pada anak muda.

Peran Keluarga Inti dan Masyarakat

Perubahan gaya hidup harus diimbangi dengan upaya keluarga inti untuk menanamkan nilai kebersamaan. Orang tua berperan penting mencontohkan pentingnya silaturahmi. Masyarakat juga bisa mendorong tradisi berkumpul, misalnya lewat kegiatan kampung, pengajian keluarga, atau reuni akbar.

Penutup: Menjaga Warisan Nilai di Era Digital

Teknologi telah mengubah wajah komunikasi keluarga. Namun, silaturahmi keluarga bukan sekadar komunikasi; ia adalah pertemuan batin yang membangun identitas, solidaritas, dan kesehatan mental. Generasi Gen Z memiliki peluang untuk memadukan dua dunia: cepatnya komunikasi digital dan hangatnya pertemuan nyata.
Di tengah zaman digital, menghidupkan kembali jejak persaudaraan adalah tugas generasi sekarang demi generasi mendatang. Bukan hanya agar kita tidak kehilangan akar, tetapi juga agar kita memiliki tempat kembali ketika kehidupan terasa berat.


Penulis Azhari