Dalam demokrasi, tim sukses semestinya hanya mesin kampanye. Tapi di negeri ini, tim sukses berubah jadi “negara dalam negara” setelah pemilu usai. Mereka yang semula hanya tukang teriak slogan, mendadak merasa punya hak mengatur kebijakan, membagi jabatan, dan menentukan arah anggaran. Pemerintahan pun bergeser jadi pasar balas jasa—siapa yang setia selama kampanye, dialah yang dapat “lapak” setelah kemenangan.
Kita sering mendengar jargon “pemerintahan bersih dan profesional.” Namun di balik layar, kursi-kursi strategis justru diisi orang yang sama sekali tidak mengerti bidangnya, hanya karena mereka bagian dari timses. Aparatur sipil negara yang bertahun-tahun berkarier dan belajar tersisih oleh pendatang baru yang modalnya hanyalah loyalitas politik. Birokrasi jadi tumpul, kebijakan publik jadi asal-asalan, dan rakyat hanya kebagian janji.
Fenomena ini adalah bentuk paling telanjang dari kehancuran tata kelola pemerintahan. Negara bukan lagi alat pelayanan publik, melainkan alat pembayaran utang politik. Proyek-proyek diatur untuk menguntungkan lingkaran dalam, anggaran dibelokkan demi menjaga kepuasan kelompok tertentu, dan kritik publik diabaikan. Inilah wajah baru “korupsi terselubung”—bukan hanya mencuri uang, tetapi mencuri hak masyarakat atas pelayanan yang layak.
Pemimpin yang benar-benar memimpin akan berani berkata “terima kasih” kepada timses, lalu menutup buku transaksi begitu ia dilantik. Ia tahu, jabatan adalah amanah rakyat, bukan hadiah untuk kelompok tertentu. Tapi pemimpin yang lemah justru menjadi sandera timsesnya sendiri. Setiap kebijakan harus lewat restu “orang belakang,” setiap posisi strategis harus menunggu sinyal “pemain lapangan.” Pada akhirnya, pemimpin semacam ini tidak pernah benar-benar memimpin—ia hanya menjadi boneka.
Jika budaya ini dibiarkan, demokrasi kita akan terus membusuk. Rakyat kehilangan kepercayaan, birokrasi kehilangan profesionalisme, negara kehilangan arah. Kita butuh keberanian moral untuk memutus rantai politik balas jasa: sistem seleksi pejabat harus terbuka dan berbasis kompetensi, media harus berani mengungkap pembagian kue kekuasaan, dan masyarakat sipil harus terus mengawasi.
Demokrasi bukan hanya soal menang pemilu, tetapi juga soal bagaimana berkuasa dengan benar. Ketika timses dibiarkan menguasai pemerintahan, kita bukan lagi melihat negara, tetapi sebuah perusahaan politik yang membagi laba kepada para pemegang saham. Dan sejarah menunjukkan: perusahaan semacam ini selalu bangkrut—bedanya, yang menanggung kerugian adalah kita semua.