Demokrasi dan Bayangan Balas Jasa
Demokrasi adalah mekanisme yang memberi rakyat kebebasan memilih pemimpin. Tetapi demokrasi juga membuka ruang bagi lahirnya “industri politik” yang mengandalkan tim sukses (timses). Mereka adalah mesin pemenangan yang mengorganisir dukungan, logistik, hingga komunikasi publik. Keberadaan timses sah-sah saja selama masih dalam koridor demokrasi. Masalahnya muncul ketika oknum timses yang seharusnya berhenti bekerja setelah pemilu justru menjadi “pemain utama” dalam pemerintahan. Fenomena ini yang disebut politik balas jasa.
Dalam setiap kontestasi, timses berperan vital. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan harta demi kemenangan calon yang diusung. Namun setelah kemenangan diraih, sebagian merasa memiliki “hak” untuk ikut mengatur kebijakan, menentukan arah pembangunan, bahkan menguasai jabatan strategis. Jika tidak dikelola dengan prinsip meritokrasi dan integritas, timses bisa menjadi benalu yang menyedot sumber daya negara untuk kepentingan kelompoknya.
Fenomena inilah yang menjadi sumber kehancuran tata kelola pemerintahan: birokrasi tersandera loyalitas politik, pelayanan publik terabaikan, dan kepercayaan masyarakat terkikis.
Bagian 1: Dari Mesin Politik ke Mesin Kekuasaan
Timses pada awalnya hanya dirancang sebagai mesin politik, bukan mesin kekuasaan. Tugasnya jelas: memenangkan pemilu. Namun setelah pemilu, timses berubah fungsi menjadi “penagih janji.” Logika yang berkembang sederhana: mereka sudah bekerja keras, maka pantas mendapat balasan. Bentuk balasan itu bisa berupa jabatan, proyek, atau akses ke sumber daya negara.
Di titik ini, idealisme demokrasi yang murni runtuh. Pemerintah yang seharusnya bekerja untuk rakyat malah bekerja untuk membayar utang politik. Kinerja birokrasi pun terdistorsi. Orang-orang yang kompeten terpinggirkan karena bukan bagian dari oknum timses, sementara orang-orang yang loyal secara politik tetapi minim kapasitas justru mendapat jabatan penting.
Jika pola ini dibiarkan, pemerintah akan berjalan seperti “perusahaan” yang dikuasai pemegang saham tertentu. Kebijakan dibuat bukan berdasarkan analisis kebutuhan masyarakat, tetapi untuk memenuhi ekspektasi kelompok yang merasa berjasa. Pada akhirnya, rakyat yang tidak terlibat timses menjadi korban utama.
Bagian 2: Dampak Nyata pada Tata Kelola Pemerintahan
-
Runtuhnya Meritokrasi
Meritokrasi adalah prinsip bahwa jabatan publik harus diisi oleh orang yang punya kemampuan dan kinerja. Fenomena balas jasa politik menghancurkan prinsip ini. Orang-orang yang duduk di kursi strategis bukan lagi yang paling mampu, tetapi yang paling dekat. Akibatnya, kebijakan publik dihasilkan oleh pihak yang mungkin tidak mengerti teknis, tidak berpengalaman, atau hanya memikirkan kepentingan sempit. -
Melemahnya Birokrasi Profesional
Aparatur sipil negara (ASN) sejatinya dirancang netral dan profesional. Tetapi ketika timses berkuasa, netralitas ASN terganggu. ASN dipaksa mengikuti arahan yang tidak sesuai prosedur atau harus tunduk pada “orang luar” yang dititipkan dalam sistem. Budaya kerja pun berubah dari pelayanan publik menjadi pelayanan kelompok. -
Korupsi dan Kebocoran Anggaran
Fenomena “timses berkuasa” seringkali membuka jalan bagi praktik korupsi. Proyek diberikan pada rekanan yang dekat secara politik, pengadaan barang/jasa diatur sedemikian rupa, dan pengawasan melemah karena semua pihak saling menjaga kepentingan. Kebocoran anggaran menjadi hal biasa, sementara masyarakat hanya mendapat sisa. -
Hilangnya Kepercayaan Publik
Rakyat tidak buta. Mereka bisa melihat ketika pemerintahan berubah menjadi arena pembagian kue kekuasaan. Hilangnya kepercayaan publik pada institusi negara adalah dampak paling berbahaya. Demokrasi kehilangan ruhnya, dan masyarakat menjadi apatis. Ini adalah kehancuran paling nyata, meski tidak selalu terlihat di permukaan.
Bagian 3: Pemimpin Tersandera vs Pemimpin Berintegritas
Fenomena timses tidak bisa dilepaskan dari karakter pemimpin itu sendiri. Ada pemimpin yang tegas: ia berterima kasih kepada timses tetapi tetap menempatkan profesionalisme di atas segalanya. Ada pula pemimpin yang lemah: ia takut kehilangan dukungan, sehingga mengorbankan integritas pemerintahan demi memuaskan timses.
Pemimpin berintegritas memahami bahwa mandat rakyat bukan untuk membalas jasa politik, tetapi untuk menunaikan amanah sebaik-baiknya. Ia tidak anti pada timses, tetapi menetapkan batas yang jelas: siapa pun yang ingin berperan dalam pemerintahan harus lolos seleksi kompetensi dan bersedia bekerja untuk kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi.
Sebaliknya, pemimpin yang tersandera oleh timses akan terjebak pada pola transaksional. Ia tidak lagi menjadi “nahkoda” negara atau daerah, melainkan “sandera” dari kepentingan kelompok yang mengangkatnya. Kebijakan pun lebih mirip alat tawar-menawar ketimbang solusi untuk masalah rakyat.
Bagian 4: Mengubah Budaya Balas Jasa menjadi Balas Karya
Solusi untuk fenomena ini bukan dengan menghapus timses – itu mustahil dalam sistem demokrasi – tetapi dengan mengubah budayanya. Ada beberapa langkah penting:
-
Sistem Rekrutmen yang Transparan dan Berbasis Kompetensi
Semua posisi strategis harus melalui mekanisme seleksi terbuka dengan kriteria jelas. Siapa pun yang punya kemampuan, baik dari timses maupun bukan, berhak mengikuti. Dengan cara ini, yang terpilih bukan karena jasa politik, tetapi karena karya dan kapasitas. -
Kontrak Moral Antara Pemimpin dan Timses
Sejak awal, pemimpin perlu menegaskan kepada timses bahwa dukungan mereka adalah bagian dari pengabdian kepada negara, bukan tiket menuju jabatan. Pemimpin juga harus siap menghadapi risiko kehilangan dukungan jika bersikap tegas. -
Peran Aktif Masyarakat Sipil dan Media
Pengawasan publik adalah kunci. Media harus berani mengungkap praktek-praktek pembagian jabatan yang tidak sesuai aturan. LSM dan akademisi perlu memberikan rekomendasi berbasis riset agar publik tahu siapa yang pantas menduduki jabatan publik. -
Pendidikan Politik yang Sehat
Partai politik harus mengubah cara pandang kader dan relawan. Dukungan kepada calon pemimpin seharusnya bukan transaksi, melainkan perjuangan nilai. Dengan pendidikan politik yang sehat, timses akan melihat kemenangan bukan sebagai jalan menuju fasilitas, melainkan sebagai jalan mengabdi.
Bagian 5: Demokrasi yang Dewasa dan Kepemimpinan yang Berani
Bangsa ini butuh pemimpin yang berani mengambil sikap meski berisiko tidak populer. Pemimpin yang berintegritas mungkin tidak memuaskan semua pihak dalam jangka pendek, tetapi ia akan dikenang dalam sejarah sebagai pemimpin yang membangun fondasi pemerintahan yang bersih dan profesional. Sebaliknya, pemimpin yang membiarkan timses menguasai sistem pemerintahan hanya akan diingat sebagai pemimpin lemah yang meruntuhkan harapan rakyat.
Demokrasi yang dewasa bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang menjaga agar pemimpin tidak tersandera kepentingan sempit. Rakyat pun perlu berperan aktif, tidak hanya menuntut, tetapi juga mendukung pemimpin yang berintegritas meski mungkin tidak memberi “bagi-bagi” kepada kelompok tertentu.
Refleksi untuk Kita Semua
Fenomena “timses ingin berkuasa” adalah cermin bagi kita semua. Ia menunjukkan betapa demokrasi bisa terjebak dalam praktik transaksional jika tidak dijaga. Kehancuran tata kelola pemerintahan bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi nyata dan kita rasakan bersama dalam bentuk pelayanan publik yang buruk, program yang tak tepat sasaran, dan korupsi yang mengakar.
Pemimpin yang kuat harus berani memutus mata rantai ini. Oknum Timses tetap penting sebagai bagian dari demokrasi, tetapi mereka tidak boleh menjadi “pemilik” pemerintahan. Hanya dengan memisahkan kepentingan politik dari kepentingan publik, kita bisa membangun pemerintahan yang benar-benar bekerja untuk rakyat.
Jika pemimpin, timses, dan rakyat sama-sama sadar akan hal ini, demokrasi kita akan lebih sehat, pemerintahan lebih profesional, dan kesejahteraan rakyat lebih terjamin. Sebaliknya, jika budaya balas jasa terus dibiarkan, kehancuran nyata dalam tata kelola pemerintahan hanyalah masalah waktu.
📌 Inti Pesan:
Demokrasi butuh pemimpin berintegritas yang mampu memisahkan timses dari pemerintahan. Balas jasa politik harus diganti dengan balas karya. Hanya dengan itu tata kelola pemerintahan bisa selamat dari kehancuran nyata.
Penulis Azhari