Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dampak Sosial dan Hukum dari Poligami Tak Tercatat

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 22:22 WIB Last Updated 2025-10-18T15:22:55Z



Aceh Butuh Qanun Poligami: Menyelamatkan Hak Anak dalam Administrasi Negara

(Opini Hukum dan Sosial Islam)

Oleh: Azhari


1. Realitas Sosial: Poligami yang Tak Terhindarkan

Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam memiliki keunikan tersendiri dalam memandang dan menjalankan hukum keluarga. Dalam masyarakat Aceh, poligami bukanlah hal baru. Ia sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah, bahkan kadang dianggap sebagai simbol tanggung jawab sosial bagi laki-laki yang mampu. Namun di tengah realitas sosial modern, praktik poligami menghadapi persoalan hukum dan moral yang semakin kompleks.

Hari ini, banyak kasus di mana pernikahan poligami dilakukan tanpa seizin pengadilan dan tanpa pencatatan resmi. Praktik tersebut sering kali hanya didasarkan pada akad secara agama, tanpa mengikuti prosedur hukum negara. Akibatnya, muncul berbagai persoalan sosial dan administrasi, terutama terkait status hukum anak dan istri.

Anak-anak hasil pernikahan tersebut sering kali tidak tercatat dalam sistem administrasi negara, tidak memiliki akta kelahiran dengan nama ayah, bahkan kesulitan mendapatkan akses pendidikan dan hak waris. Mereka menjadi korban dari ketidakjelasan hukum, hidup dalam status “tidak diakui,” meski secara agama sah.

Kondisi inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa Aceh memerlukan Qanun Poligami. Sebuah regulasi yang bukan bertujuan mendorong praktik poligami, melainkan menata, mengatur, dan melindungi hak-hak hukum perempuan dan anak dalam bingkai syariat dan hukum negara.


2. Poligami dalam Pandangan Islam: Antara Kebolehan dan Keadilan

Dalam Islam, poligami bukanlah perintah wajib, melainkan rukhshah (keringanan) yang diberikan dengan syarat yang sangat ketat.
Firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 3 menegaskan:

“Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja.”

Ayat ini menjadi dasar bahwa syarat utama poligami adalah kemampuan berbuat adil. Namun keadilan yang dimaksud bukan hanya keadilan ekonomi, melainkan keadilan dalam perasaan, perhatian, dan tanggung jawab sosial.

Sayangnya, praktik poligami di masyarakat sering kali disalahartikan. Banyak laki-laki menjadikannya alasan untuk menutupi hawa nafsu, tanpa mempertimbangkan kemampuan moral dan tanggung jawabnya. Akibatnya, poligami yang seharusnya dijalankan dalam bingkai keadilan justru melahirkan ketidakadilan baru — terutama bagi istri dan anak-anak.

Maka, tujuan syariat Islam bukan membolehkan poligami tanpa batas, tetapi memastikan keadilan dalam pelaksanaannya.
Qanun Poligami Aceh perlu hadir untuk menerjemahkan nilai keadilan itu ke dalam sistem hukum yang konkret, agar praktik syariat tidak hanya berhenti di ruang ibadah, tetapi juga menjadi jaminan perlindungan sosial.


3. Kekosongan Hukum dalam Regulasi Poligami di Aceh

Secara nasional, poligami diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dalam pasal 3 UU tersebut ditegaskan bahwa pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu istri. Namun, dalam kondisi tertentu, seorang suami dapat beristri lebih dari satu dengan syarat mendapat izin pengadilan dan memenuhi syarat yang ketat, seperti:

  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya.
  2. Istri menderita cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Namun di Aceh, tidak ada Qanun khusus yang mengatur poligami secara terperinci. Padahal Aceh memiliki kewenangan otonomi khusus untuk membentuk qanun berdasarkan nilai-nilai syariat. Akibatnya, banyak praktik poligami di Aceh berjalan di luar jalur hukum, dengan alasan syariat atau “izin keluarga,” tetapi tanpa dasar hukum formal.

Inilah celah kekosongan hukum yang harus segera diisi. Tanpa qanun yang jelas, praktik poligami akan terus menjadi ruang abu-abu yang merugikan perempuan dan anak.
Negara tidak bisa menegakkan hukum, karena tidak ada dasar legalitas.
Masyarakat tidak bisa menuntut keadilan, karena tidak ada aturan lokal yang mengikat.


4. Dampak Sosial dan Hukum dari Poligami Tak Tercatat

Praktik poligami tanpa izin pengadilan dan tanpa pencatatan resmi menimbulkan berbagai dampak serius:

  1. Dampak Hukum
    Anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut tidak diakui secara hukum negara. Mereka kesulitan mendapatkan akta kelahiran yang sah, tidak memiliki akses hukum terhadap harta warisan, bahkan terkadang tidak diakui dalam dokumen kependudukan.

  2. Dampak Sosial
    Istri kedua atau ketiga sering kali hidup dalam stigma sosial. Mereka dianggap “istri simpanan” karena tidak memiliki bukti pernikahan yang sah di mata negara. Akibatnya, hak mereka terhadap nafkah, warisan, dan perlindungan sosial sering diabaikan.

  3. Dampak Psikologis dan Moral
    Anak-anak yang tumbuh tanpa pengakuan legal sering mengalami tekanan psikologis. Mereka menghadapi rasa malu, keraguan identitas, dan ketidakpastian masa depan.
    Sementara dari sisi moral, praktik poligami tanpa tanggung jawab menurunkan martabat hukum Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, Qanun Poligami bukan sekadar aturan perkawinan, melainkan juga benteng perlindungan sosial dan hukum bagi keluarga Aceh.


5. Qanun Poligami: Jalan Tengah antara Syariat dan Negara

Qanun Poligami di Aceh harus dirancang bukan sebagai legitimasi beristri banyak, tetapi sebagai alat kontrol dan perlindungan hukum.
Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa setiap praktik poligami yang dilakukan benar-benar memenuhi syarat keadilan, tanggung jawab, dan legalitas.

Setidaknya, Qanun Poligami Aceh harus memuat empat pilar utama:

  1. Syarat Kelayakan dan Keadilan
    Suami yang ingin berpoligami harus membuktikan kemampuan ekonomi, fisik, dan moral. Ia juga wajib mendapat izin dari Mahkamah Syar’iyah setelah mendapat izin tertulis dari istri pertama.

  2. Pencatatan Resmi dan Pengawasan
    Setiap pernikahan poligami wajib dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Mahkamah Syar’iyah. Dengan begitu, hak anak dan istri memiliki dasar hukum yang kuat.

  3. Perlindungan Hak Anak dan Istri
    Qanun harus menjamin bahwa anak-anak hasil poligami memiliki hak identitas, pendidikan, dan warisan yang setara. Begitu pula hak istri terhadap nafkah, tempat tinggal, dan kedudukan sosial.

  4. Sanksi terhadap Pelanggaran
    Diperlukan sanksi administratif maupun pidana bagi mereka yang melakukan poligami tanpa izin, termasuk denda atau pembatalan hak administratif, agar tidak terjadi penyalahgunaan dalil agama.

Dengan struktur ini, Qanun Poligami dapat menjadi jalan tengah antara hukum negara dan syariat Islam, serta menciptakan keseimbangan antara hak, tanggung jawab, dan keadilan sosial.


6. Perspektif Hukum Islam dan Filsafat Keadilan

Dalam filsafat hukum Islam, tujuan hukum (maqashid al-syariah) adalah menjaga lima hal utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Poligami yang tidak diatur dan tidak bertanggung jawab justru melanggar prinsip hifzh al-nasl (perlindungan keturunan).
Artinya, ketika poligami menimbulkan ketidakpastian status anak, maka secara maqashid, praktik itu bertentangan dengan tujuan syariat.

Keadilan adalah ruh hukum Islam.
Tanpa keadilan, syariat kehilangan maknanya.
Oleh sebab itu, Qanun Poligami yang ideal harus berpijak pada filosofi keadilan — bukan sekadar legalitas.


7. Mekanisme Isbat Nikah dalam Qanun

Qanun Poligami Aceh juga dapat mengatur mekanisme isbat nikah, yaitu penetapan sahnya pernikahan di Mahkamah Syar’iyah bagi pasangan yang menikah tanpa pencatatan resmi.
Melalui isbat nikah, anak-anak dari pernikahan tersebut dapat memperoleh akta kelahiran, hak waris, dan status hukum yang jelas.

Mekanisme ini bukan untuk membenarkan pelanggaran hukum, tetapi untuk menyelamatkan hak anak dan istri dari kekosongan hukum. Dengan demikian, qanun berfungsi sebagai solusi, bukan sekadar hukuman.


8. Tanggung Jawab Pemerintah dan Ulama

Pemerintah Aceh bersama MPU dan Mahkamah Syar’iyah memiliki tanggung jawab besar dalam merumuskan Qanun Poligami.
Ulama perlu menjadi pengawal moral, sementara pemerintah menjadi pengawal hukum. Sinergi keduanya akan menentukan apakah qanun ini mampu melahirkan keadilan atau sekadar simbol formalitas syariat.

Selain itu, masyarakat juga perlu diedukasi agar memahami bahwa poligami bukan prestise, melainkan amanah berat. Dengan qanun, diharapkan poligami tidak lagi dilakukan diam-diam, tetapi melalui jalur hukum yang sah dan transparan.


9.  Saatnya Aceh Menata Keadilan dalam Keluarga

Aceh memiliki kekhususan dalam menjalankan hukum Islam. Namun keistimewaan itu harus diwujudkan dalam bentuk regulasi yang berpihak pada keadilan, bukan pada pembenaran sepihak.
Qanun Poligami adalah kebutuhan mendesak — bukan karena masyarakat ingin memperbanyak istri, tetapi karena banyak perempuan dan anak yang telah menjadi korban dari poligami tanpa hukum.

Sudah saatnya Aceh menegakkan prinsip bahwa syariat bukan alat kekuasaan, melainkan perlindungan bagi yang lemah.
Melalui Qanun Poligami, Aceh dapat menunjukkan kepada dunia bahwa hukum Islam mampu menjawab tantangan modern dengan adil dan manusiawi.

Karena sejatinya, keadilan adalah inti dari semua hukum.
Dan hukum yang tidak melindungi anak, sesungguhnya telah kehilangan kemuliaannya.


Penulis Azhari advokat