Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Diplomasi Aceh Merdeka di Lintas Negara: Mimpi atau Nyata

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 22:47 WIB Last Updated 2025-10-18T15:47:57Z


Opini Politik oleh Azhari

Setiap kali isu “Aceh merdeka” kembali berembus, terutama dalam ruang-ruang diskusi politik dan diaspora Aceh di luar negeri, pertanyaan yang selalu menggema adalah: apakah diplomasi Aceh merdeka masih sebuah mimpi yang menggantung di langit sejarah, atau justru sedang disusun pelan-pelan di balik layar lintas negara?

Untuk menjawabnya, kita harus kembali pada realitas sejarah dan hukum politik internasional. Aceh memiliki rekam jejak diplomasi luar negeri yang luar biasa sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam. Hubungan diplomatik dengan Turki Utsmani, Inggris, Belanda, dan India membuktikan bahwa Aceh dulu adalah aktor internasional sejati. Ketika bangsa lain masih mencari bentuk pemerintahan, Aceh telah menandatangani perjanjian, mengirim duta besar, dan memainkan politik luar negeri dengan sangat cerdas.

Namun, sejarah juga mencatat titik baliknya: tahun 1903 menjadi akhir dari kedaulatan Aceh sebagai negara merdeka setelah penyerahan resmi kepada Belanda. Sejak saat itu, diplomasi Aceh sebagai entitas berdaulat berhenti secara hukum internasional. Walau perjuangan fisik terus berlanjut hingga masa kemerdekaan Indonesia, status politik Aceh kemudian dilebur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Lalu bagaimana dengan diplomasi Aceh merdeka di masa kini? Apakah masih mungkin di tengah tatanan global yang semakin ketat terhadap isu separatisme?

Realitanya, mimpi diplomasi Aceh merdeka kini lebih banyak hidup dalam ruang simbolik dan emosional daripada dalam ruang diplomatik resmi. Aceh memang memiliki sejarah panjang perjuangan, tetapi dunia internasional tidak lagi mudah memberikan legitimasi terhadap gerakan pemisahan diri, apalagi terhadap wilayah yang telah memperoleh status otonomi khusus dan perdamaian formal seperti Aceh melalui MoU Helsinki 2005.

Kesepakatan damai tersebut menjadi landasan hukum internasional baru bagi Aceh: bukan sebagai negara, tetapi sebagai entitas politik istimewa dalam NKRI dengan kewenangan luas dalam bidang syariat Islam, politik lokal, dan ekonomi daerah. MoU Helsinki diakui oleh Uni Eropa dan negara-negara Skandinavia sebagai “model perdamaian berhasil”. Maka dari itu, setiap upaya diplomasi baru yang mengarah pada kemerdekaan penuh, secara hukum internasional, akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap perjanjian damai itu sendiri.

Namun demikian, bukan berarti diplomasi Aceh harus berhenti. Yang perlu dilakukan adalah mengubah arah diplomasi — dari diplomasi kemerdekaan menjadi diplomasi kemandirian.
Artinya, Aceh perlu memainkan peran globalnya bukan dengan memisahkan diri, tetapi dengan menampilkan dirinya sebagai provinsi dengan identitas kuat, ekonomi tangguh, dan pengaruh budaya mendunia.

Diplomasi Aceh di lintas negara bisa hadir dalam berbagai bentuk:

  • Melalui perdagangan dan investasi halal global, dengan menempatkan Aceh sebagai pusat ekonomi syariah Asia Tenggara.
  • Melalui pendidikan dan kebudayaan, mengirim pelajar Aceh ke dunia internasional sebagai duta budaya Islam Nusantara.
  • Melalui kerja sama energi dan lingkungan, mengelola potensi alam Aceh dengan standar global, sambil menjaga warisan ekologisnya.

Diplomasi yang seperti ini jauh lebih realistis, produktif, dan bermartabat. Dunia tidak akan menutup pintu untuk Aceh yang ingin maju, selama Aceh datang dengan semangat kerja sama, bukan pemisahan diri.

Sebab harus diakui, perjuangan bersenjata telah berakhir, dan perjuangan diplomasi yang sejati kini adalah memperjuangkan kesejahteraan rakyat Aceh dalam bingkai damai dan martabat.

Mimpi Aceh merdeka mungkin masih hidup di hati sebagian orang — dan itu hak yang harus dihormati. Namun, dalam politik global masa kini, diplomasi kemerdekaan tanpa legitimasi internasional hanya akan berakhir pada kebuntuan. Yang dibutuhkan bukan perlawanan baru, melainkan strategi baru.

Aceh bisa kembali besar, bukan dengan memisahkan diri, tetapi dengan menunjukkan kepada dunia bahwa Aceh mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain melalui ilmu, ekonomi, dan moralitas Islam yang luhur.

Merdeka sejati bukan berarti berpisah dari negara, tetapi bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan ketergantungan politik. Itulah kemerdekaan yang sebenarnya — kemerdekaan yang bisa membawa Aceh kembali ke jalur dunia tanpa mengulang luka sejarah.