Opini Politik oleh Azhari
Aceh adalah tanah yang diberkahi sejarah, darah perjuangan, dan kekayaan alam yang tiada tara. Di balik setiap gelombang laut dan desir angin pesisirnya, tersimpan cerita kejayaan peradaban yang pernah membuat dunia menoleh ke Serambi Mekkah. Tapi kini, di tengah derasnya arus globalisasi dan kompetisi dunia, pertanyaan penting kembali mengemuka: apakah Aceh siap menjadi daerah yang benar-benar maju dan mendunia?
Pertanyaan ini bukan sekadar ambisi politik, tetapi refleksi jati diri sebuah bangsa kecil yang memiliki warisan besar. Sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam, Aceh sudah terbiasa menjadi bagian dari jaringan dunia — menjalin hubungan diplomatik dengan Turki Utsmani, India, Arab, dan Eropa. Jalur rempah, perdagangan, dan ilmu pengetahuan mengantarkan Aceh menjadi poros maritim dan spiritual di Asia Tenggara.
Kini, setelah lebih dari dua dekade perdamaian pasca-MoU Helsinki, sejarah seakan memanggil kembali: apakah Aceh mampu bangkit, bukan hanya di panggung nasional, tetapi juga di kancah internasional?
Aceh Maju: Dari Retorika ke Tindakan Nyata
Kemajuan Aceh hari ini tidak cukup diukur dari banyaknya gedung pemerintahan atau proyek infrastruktur. Aceh maju berarti Aceh yang rakyatnya sejahtera, anak mudanya berpendidikan, pemimpinnya berintegritas, dan ekonominya mandiri.
Namun realitas politik Aceh menunjukkan bahwa kemajuan masih tertahan oleh kepentingan jangka pendek. Dana Otonomi Khusus yang seharusnya menjadi bahan bakar pembangunan, sering terjebak dalam sistem birokrasi yang lamban dan praktik politik transaksional. Sementara itu, sebagian pemimpin lebih sibuk dengan dinamika kekuasaan daripada membangun arah masa depan Aceh.
Aceh maju hanya bisa terwujud jika ada revolusi kepemimpinan dan visi politik yang berorientasi global.
Pemimpin Aceh harus keluar dari logika administratif dan berpikir strategis — melihat Aceh bukan hanya sebagai provinsi di ujung barat Indonesia, tetapi sebagai gerbang maritim dunia, pintu ekspor halal, dan pusat pendidikan Islam internasional.
Kemajuan sejati tidak hanya datang dari anggaran besar, tetapi dari keberanian untuk berubah. Dari birokrasi yang kaku menjadi pelayanan yang cepat. Dari ketergantungan terhadap pusat menjadi kemandirian ekonomi lokal. Dari politik uang menjadi politik gagasan.
Aceh Mendunia: Diplomasi Budaya dan Ekonomi Global
Aceh mendunia bukan berarti meninggalkan akar budayanya. Sebaliknya, Aceh harus mendunia karena identitasnya. Dunia modern menghormati mereka yang memiliki karakter kuat. Jepang maju karena disiplinnya, Korea Selatan mendunia karena kreativitasnya, dan Aceh bisa mendunia karena nilai-nilai Islam, budaya, dan sejarah yang luhur.
Ada tiga strategi diplomasi yang bisa membawa Aceh ke panggung dunia:
-
Diplomasi Ekonomi Halal.
Aceh bisa menjadi pusat ekonomi halal di Asia Tenggara. Dengan posisi geografis yang strategis, Aceh dapat menarik investor Timur Tengah dan Asia untuk mengembangkan industri halal, energi hijau, serta pariwisata syariah yang berkelanjutan. -
Diplomasi Budaya dan Pendidikan.
Aceh harus mengirimkan anak mudanya ke luar negeri bukan sekadar belajar, tapi juga membawa nama baik daerah. Dayah, pesantren, dan universitas di Aceh perlu membuka jaringan dengan kampus dunia agar Aceh menjadi laboratorium Islam moderat yang diakui global. -
Diplomasi Digital.
Di era globalisasi, dunia mengenal siapa yang mampu tampil di ruang digital. Aceh bisa menggunakan media sosial, platform kreatif, dan teknologi untuk memperkenalkan sejarah, budaya, dan potensi daerahnya. “Branding Aceh” harus dibangun dengan narasi positif: Aceh damai, Islami, dan terbuka untuk dunia.
Politik Aceh: Dari Lokalitas ke Globalitas
Masalah terbesar Aceh bukan kurang potensi, tapi kurang arah. Politik kita masih terlalu lokal — terjebak pada siapa yang duduk di kursi, bukan apa yang bisa dilakukan untuk rakyat. Padahal, politik Aceh seharusnya menjadi jembatan menuju peran global.
Pemerintah Aceh perlu menyusun kebijakan luar daerah (subnational diplomacy) yang jelas, bekerja sama dengan negara sahabat dalam bidang energi, pendidikan, dan ekonomi kreatif. Kota Banda Aceh, Sabang, Langsa, dan Lhokseumawe bisa menjadi “kota diplomasi ekonomi” yang menghubungkan Asia dan Timur Tengah.
Ketika politik Aceh mampu berpikir melampaui batas administrasi, saat itulah Aceh mulai mendunia.
Refleksi dan Harapan: Dari Serambi Mekkah ke Panggung Dunia
Aceh memiliki semua modal untuk menjadi wilayah yang maju dan berpengaruh: sejarah besar, kekayaan alam, posisi strategis, dan identitas Islam yang kuat. Tapi tanpa arah politik yang jelas, semua itu hanya akan menjadi romantika masa lalu.
Kita tidak bisa terus bernostalgia pada kejayaan Sultan Iskandar Muda, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk kejayaan generasi hari ini. Aceh mendunia bukan dengan senjata, tetapi dengan ilmu pengetahuan, budaya, dan diplomasi. Bukan dengan konflik, tetapi dengan kerja sama dan kejujuran dalam kepemimpinan.
Maka, Aceh maju dan Aceh mendunia bukan sekadar slogan politik — tetapi panggilan sejarah. Saat rakyat dan pemimpin bersatu dalam visi kemajuan, saat pendidikan menjadi fondasi, dan saat moral kembali menjadi pedoman, maka Aceh akan kembali bersinar.
Aceh pernah menjadi cahaya di Timur. Dan cahaya itu tidak boleh padam.
— Azhari
Pemerhati Politik dan Sosial Aceh