Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Cahaya Hutan Lindung yang Hilang di Tangan Oknum Pemimpin

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 21:46 WIB Last Updated 2025-10-04T14:46:22Z



Hutan adalah paru-paru kehidupan. Di sanalah oksigen tercipta, air disimpan, dan ekosistem dijaga. Namun di negeri ini, cahaya hutan kian meredup. Pepohonan yang dahulu menjadi peneduh kini tumbang satu per satu, berganti dengan deretan sawit, tambang, atau perumahan yang rakus ruang. Ironisnya, tangan yang menandatangani izin perusakan itu bukan hanya milik para pengusaha, tetapi juga oknum pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga bumi.


1. Ketika Hutan Tak Lagi Sakral

Dahulu, masyarakat adat dan petani memandang hutan sebagai tempat suci, bukan sekadar sumber ekonomi. Mereka menjaga keseimbangan antara mengambil dan memelihara. Namun kini, pandangan itu terkikis oleh sistem yang memuja uang dan kekuasaan. Hutan tak lagi dianggap titipan Tuhan, melainkan komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan tanda tangan dan surat izin.

Kata “lindung” dalam hutan lindung kini seperti ironi yang pahit. Di atas kertas, ia dilindungi oleh undang-undang, namun di lapangan ia terancam oleh persekongkolan antara pejabat, pengusaha, dan aparat. Setiap batang kayu yang tumbang adalah bukti bahwa hukum kita lemah di hadapan uang, dan moralitas pemimpin kita kalah di hadapan kepentingan sesaat.


2. Jejak Gelap di Balik Izin dan Janji

Setiap kali ada kasus pembalakan liar atau alih fungsi hutan, publik sering disuguhi narasi klasik: “izin telah sesuai prosedur”. Namun di balik kata “izin” itulah sering tersembunyi permainan. Ada lobi, ada amplop, ada kepentingan yang diselubungi retorika pembangunan.

Para oknum pemimpin yang seharusnya menjadi pengawal amanah rakyat justru menjadi pelicin bagi perusakan alam. Mereka bersembunyi di balik jargon pembangunan ekonomi, padahal yang dibangun hanyalah jaringan kepentingan pribadi. Dalam banyak kasus, perusahaan tambang atau perkebunan diberi izin menembus kawasan lindung, dengan alasan investasi dan lapangan kerja. Tapi siapa yang sebenarnya diuntungkan? Rakyat kecil tetap miskin, sedangkan segelintir elit menimbun kekayaan dari sumber daya alam yang rusak.


3. Alam yang Menjerit, Rakyat yang Menderita

Ketika hutan rusak, bukan hanya pohon yang tumbang — kehidupan manusia pun ikut runtuh. Banjir bandang, longsor, kekeringan, dan kabut asap hanyalah sebagian dari jeritan alam yang lelah diperas tanpa henti. Namun anehnya, setiap kali bencana datang, para pejabat tampil di depan kamera dengan kalimat simpati dan bantuan sementara, seolah mereka tak tahu penyebabnya berasal dari kebijakan mereka sendiri.

Di beberapa daerah Aceh dan Sumatera, kerusakan hutan sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Kawasan yang dahulu menjadi sumber air kini gersang. Satwa langka kehilangan rumah, dan petani kehilangan lahan subur. Tapi laporan kerusakan itu sering kali tak diindahkan, karena kepentingan politik dan ekonomi jauh lebih besar daripada kepentingan lingkungan.

Apakah ini yang disebut pembangunan? Atau justru penghancuran yang dibungkus dengan istilah kemajuan?


4. Hutan dan Amanah Kepemimpinan

Dalam pandangan Islam dan kearifan lokal Nusantara, pemimpin bukan sekadar penguasa, tetapi penjaga amanah. Alam adalah ciptaan Allah yang dititipkan kepada manusia untuk dijaga, bukan dieksploitasi. Firman Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 56 mengingatkan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”

Namun apa yang kita saksikan hari ini adalah kebalikan dari ayat itu. Oknum pemimpin justru menjadi bagian dari kerusakan itu sendiri. Mereka memberi izin, menutup mata terhadap laporan rakyat, dan bahkan melindungi pelaku kejahatan lingkungan atas dasar “investasi strategis”.

Padahal, sebuah izin yang mengorbankan keseimbangan alam bukanlah pembangunan, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat dan Tuhan.


5. Ketika Hukum Tumpul ke Atas

Indonesia tidak kekurangan regulasi tentang perlindungan hutan. Undang-Undang Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, hingga peraturan tentang kawasan lindung semuanya sudah ada. Namun yang sering hilang adalah keberanian menegakkan hukum terhadap mereka yang berkuasa.

Ketika rakyat kecil menebang satu batang kayu untuk membangun rumah, mereka bisa ditangkap dan dijerat hukum. Tapi ketika perusahaan besar merusak ribuan hektar hutan dengan dukungan pejabat, semuanya seolah diam. Hukum menjadi alat bagi yang kuat, bukan pelindung bagi yang benar.

Sistem yang korup ini telah menciptakan generasi pemimpin yang kehilangan rasa malu dan takut kepada Tuhan. Mereka berani menandatangani izin yang merusak alam, tapi tidak berani menatap mata rakyat yang kehilangan sumber air. Mereka berdiri di podium membicarakan pembangunan hijau, tapi di belakang layar ikut mengatur pembagian keuntungan dari hasil perusakan hutan.


6. Mencari Cahaya yang Hilang

Cahaya hutan lindung bukan hanya sinar matahari yang menembus dedaunan, tetapi simbol dari keadilan, keseimbangan, dan keberkahan. Ketika cahaya itu padam, maka padamlah nurani kepemimpinan.

Namun, harapan belum sepenuhnya hilang. Di beberapa tempat, masih ada tokoh masyarakat, ulama, dan aktivis lingkungan yang berjuang menjaga hutan dengan cara mereka sendiri. Mereka menanam pohon, membangun kesadaran ekologis, dan melawan mafia hutan meski tanpa dukungan kekuasaan.

Inilah tanda bahwa cahaya itu belum sepenuhnya mati — hanya tertutup oleh bayang-bayang kerakusan. Jika generasi muda, pelajar, dan masyarakat sipil ikut bersuara, maka cahaya itu bisa kembali bersinar.


7. Hutan dan Masa Depan Anak Cucu

Apa yang kita rusak hari ini akan ditanggung oleh anak cucu kita kelak. Mereka tidak lagi akan melihat sungai jernih, burung yang berkicau di rimba, atau udara segar yang kita nikmati dulu. Mereka hanya akan melihat foto-foto hutan di buku sejarah — dan bertanya: kenapa kalian biarkan alam ini hilang?

Pertanyaan itu akan menjadi dakwaan moral terhadap generasi sekarang, terutama terhadap para pemimpin yang menggadaikan lingkungan demi proyek jangka pendek.

Kita lupa bahwa kesejahteraan sejati tidak lahir dari tambang dan sawit, tetapi dari alam yang lestari. Tidak ada gunanya membangun gedung tinggi dan jalan lebar jika banjir menenggelamkan desa, dan tanah kehilangan kesuburannya.


8. Seruan Nurani: Pemimpin Harus Bertobat Ekologis

Sudah saatnya para pemimpin melakukan taubat ekologis — sebuah kesadaran bahwa kerusakan lingkungan adalah dosa sosial dan spiritual. Mereka harus kembali memandang hutan bukan sebagai sumber uang, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga.

Pemimpin sejati tidak menggadaikan alam untuk proyek politik. Ia justru menjadi benteng terakhir bagi rakyat dari keserakahan korporasi. Jika tidak ada keberanian di tangan penguasa, maka rakyat akan kehilangan harapan.

Sebagaimana pepatah Aceh mengatakan, “Tanoh ngon uteun bek tapeugala, ka leupah na laot tempat kita beujaga.” (Tanah dan hutan jangan kita jual, karena di sanalah tempat kita berlindung.)


9. Penutup: Menyalakan Kembali Cahaya

Hutan lindung adalah simbol keseimbangan antara manusia dan alam. Ketika hutan dijaga, maka kehidupan terjaga. Ketika hutan dihancurkan, maka peradaban ikut runtuh.

Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki keberanian moral untuk berkata tidak pada eksploitasi yang rakus. Pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara tentang “pembangunan berkelanjutan”, tetapi benar-benar menjaga setiap jengkal tanah dari tangan-tangan perusak.

Cahaya hutan lindung mungkin kini tampak redup, tetapi masih ada harapan untuk menyalakannya kembali — dengan kejujuran, keberanian, dan kesadaran bahwa bumi ini bukan warisan leluhur, melainkan titipan untuk anak cucu.

Semoga para pemimpin menyadari bahwa tanda kebesaran seorang pemimpin bukan terletak pada banyaknya proyek yang ia bangun, melainkan pada berapa banyak alam yang ia selamatkan.


Penulis Azhari