Aceh adalah tanah yang diberkahi. Gunung-gunungnya menjulang megah, hutan-hutannya hijau rimbun, sungai-sungainya mengalirkan kehidupan. Dari ujung Krueng Aceh hingga ke pesisir Bireuen, dari hutan Leuser sampai lembah Alas, alam Aceh adalah anugerah besar yang menjadi sumber air, udara, dan rezeki bagi jutaan penduduknya. Namun sayang, keindahan dan kesejukan itu perlahan terkikis oleh kerakusan manusia — terutama oleh mereka yang seharusnya menjaga: para pemimpin.
1. Ketika Nurani Pemimpin Mulai Tumpul
Setiap pemimpin dilahirkan dengan dua tanggung jawab besar: kepada rakyat dan kepada Tuhan. Ia tidak hanya dituntut untuk membangun jalan, gedung, dan ekonomi, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan alam sebagai sumber kehidupan. Sayangnya, banyak pemimpin kita hari ini lebih sibuk mengejar proyek dan kekuasaan daripada menyelamatkan lingkungan yang mulai sekarat.
Aceh pernah dikenal dengan hutan yang luas dan lebat. Namun kini, sebagian dari hutan itu berubah menjadi lahan gundul, tambang terbuka, atau kebun sawit yang meluas tanpa batas. Semua atas nama “pembangunan”. Padahal, pembangunan yang mengorbankan alam sejatinya bukan kemajuan, melainkan kehancuran yang tertunda.
Pemimpin yang kehilangan nurani akan mudah menandatangani izin eksploitasi tanpa menimbang dampak ekologisnya. Ia lupa bahwa satu tanda tangan bisa berarti hilangnya ribuan pohon, rusaknya ekosistem, dan penderitaan rakyat yang kehilangan sumber air.
2. Alam Aceh: Cermin dari Ketaatan dan Ketamakan
Aceh memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Kawasan Leuser, salah satu paru-paru dunia, berada di jantung provinsi ini. Namun keindahan itu kian terancam oleh aktivitas penebangan liar dan tambang ilegal. Di beberapa daerah seperti Aceh Tengah, Nagan Raya, dan Bener Meriah, longsor dan banjir bandang menjadi bencana rutin.
Bukan karena alam marah, tetapi karena manusia yang serakah. Ironisnya, dalam banyak kasus, praktik perusakan alam itu justru dilindungi atau dibiarkan oleh oknum pejabat. Ada permainan izin, ada kepentingan politik, dan ada keuntungan pribadi yang menutupi mata hati.
Padahal, dalam Islam dan adat Aceh, hubungan antara manusia dan alam bersifat sakral. Alam bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi amanah Allah. Ketika pemimpin mengkhianati amanah itu, maka ia sebenarnya telah mengkhianati rakyat dan Tuhannya sendiri.
3. Hutan dan Sungai yang Menangis
Kita mungkin tidak lagi mendengar suara rimba, tapi sesungguhnya hutan sedang berteriak dalam diam. Sungai-sungai yang dulu jernih kini berlumpur. Satwa-satwa langka seperti gajah dan harimau keluar dari habitatnya, mencari ruang hidup yang telah direbut manusia.
Setiap kali banjir melanda, masyarakat kecil menjadi korban. Sawah rusak, rumah hanyut, anak-anak kehilangan tempat belajar. Namun yang lebih menyakitkan, setelah bencana, para pejabat hanya datang meninjau, berfoto, dan berjanji — lalu pergi. Tidak ada langkah nyata untuk mencegah bencana berikutnya.
Padahal, solusi dari semua itu sederhana: pelihara hutan, tegas terhadap perusak lingkungan, dan berhenti menjadikan alam sebagai komoditas politik.
4. Kepemimpinan Tanpa Kesadaran Ekologis adalah Kekosongan Jiwa
Pemimpin sejati bukan hanya pandai berbicara tentang pembangunan, tetapi mampu menyeimbangkan antara kemajuan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Di Aceh, tantangan terbesar bukanlah kurangnya sumber daya, melainkan kurangnya kesadaran ekologis di kalangan pemimpin.
Kita sering mendengar kata “berkelanjutan”, tetapi praktiknya sangat jauh dari itu. Banyak proyek besar yang mengorbankan hutan dan sungai tanpa kajian lingkungan yang jelas. Pengawasan lemah, penegakan hukum tumpul, dan masyarakat lokal tak dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut tanah dan air mereka sendiri.
Kepemimpinan tanpa kesadaran ekologis adalah kepemimpinan yang kehilangan ruh. Ia seperti kapal yang berjalan tanpa arah, hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan generasi mendatang.
5. Kearifan Lokal: Cermin Etika Alam Orang Aceh
Sejak dahulu, masyarakat Aceh hidup dengan kearifan lingkungan yang luhur. Dalam adat Gayo, ada istilah “edet peugaga ureueng, adat peugaga uteun” — adat menjaga manusia, dan adat menjaga hutan. Dalam tradisi pesisir, masyarakat menjaga mangrove karena tahu bahwa laut yang sehat dimulai dari pantai yang lestari.
Nilai-nilai ini mulai hilang karena generasi baru tidak lagi diajarkan untuk mencintai alam. Padahal, bila kearifan lokal dihidupkan kembali, Aceh bisa menjadi contoh provinsi yang memadukan syariat Islam dan ekologi — sebuah model pembangunan berbasis iman dan tanggung jawab.
Syariat bukan hanya tentang pakaian dan hukum, tetapi juga tentang tanggung jawab terhadap bumi. Sebab, menjaga alam juga bagian dari ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika kiamat tiba, dan di tanganmu ada bibit pohon, maka tanamlah.” Hadis ini menjadi pengingat bahwa sekecil apa pun tindakan menjaga bumi adalah bagian dari amal kebaikan.
6. Nurani Pemimpin: Antara Amanah dan Kepentingan
Aceh membutuhkan pemimpin yang memiliki nurani ekologis — pemimpin yang menganggap setiap jengkal tanah, air, dan udara sebagai amanah, bukan aset pribadi.
Pemimpin dengan nurani akan menolak segala bentuk izin tambang yang merusak, meski tekanan datang dari pihak berkepentingan. Ia akan menegur pejabat bawahannya yang bermain proyek, dan lebih memilih kehilangan jabatan daripada kehilangan tanggung jawab moral.
Sayangnya, banyak pemimpin kini lebih takut kehilangan kekuasaan daripada kehilangan hutan. Mereka lupa bahwa kekuasaan hanya sementara, tapi dampak kerusakan alam bisa bertahan ratusan tahun. Air yang kering, tanah yang longsor, dan udara yang kotor akan menjadi warisan pahit bagi anak cucu kita.
7. Masa Depan Aceh: Antara Hijau dan Abu-Abu
Masa depan Aceh sangat ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan alam hari ini. Jika hutan terus dibabat, sungai terus dicemari, dan pesisir terus ditimbun, maka Aceh hanya akan tinggal nama — kehilangan keindahan, kehilangan kehidupan.
Namun bila kita mampu menjaga alam, Aceh bisa menjadi provinsi hijau yang kaya sumber daya berkelanjutan. Energi air, hutan konservasi, dan wisata ekologis bisa menjadi sumber ekonomi yang halal dan berkah. Semua itu hanya bisa terwujud bila pemimpin memiliki visi lingkungan yang jelas dan tegas.
Generasi muda Aceh juga memiliki peran penting. Mereka harus menjadi suara bagi alam, menolak kebijakan yang merusak, dan berani menuntut transparansi dari pemimpin. Masa depan hijau Aceh tidak akan datang dari janji, tetapi dari kesadaran bersama bahwa alam adalah bagian dari jati diri kita.
8. Penutup: Menyalakan Kembali Nurani yang Padam
Sudah saatnya Aceh bangkit dengan kesadaran baru: menyelamatkan lingkungan adalah menyelamatkan diri sendiri. Tidak ada pembangunan yang sejati tanpa keseimbangan alam.
Pemimpin Aceh harus kembali menyalakan nuraninya, menjadikan kebijakan lingkungan sebagai prioritas utama, bukan sekadar pelengkap. Mereka harus berani berkata tidak pada investasi yang merusak, dan berkata ya pada keberlanjutan yang menyejahterakan rakyat tanpa menghancurkan bumi.
Nurani pemimpin adalah cahaya bagi rakyat. Jika cahaya itu padam, maka gelaplah masa depan Aceh. Tapi jika cahaya itu kembali menyala — dengan kejujuran, kepedulian, dan keberanian menjaga alam — maka Aceh akan bangkit sebagai provinsi yang tidak hanya religius, tetapi juga hijau, lestari, dan diberkahi.
Penulis Azhari