Di tengah derasnya arus globalisasi, generasi yang disebut Gen Z — mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an — sedang menjalani babak sejarah yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Bila generasi terdahulu berjuang menulis sejarah melalui perang, pendidikan, dan ideologi kemerdekaan, maka Gen Z menulis sejarah melalui pergaulan digital, algoritma media sosial, dan identitas virtual. Namun pertanyaan mendasarnya: apakah generasi ini masih mengenal nilai sejarah yang membentuk jati dirinya, atau justru hanyut dalam budaya instan tanpa arah dan pijakan?
1. Dari Pena ke Layar: Pergeseran Arah Peradaban
Peradaban manusia selalu berubah seiring perubahan alat komunikasi. Dulu, tinta dan pena menjadi simbol ilmu dan perjuangan. Kini, layar ponsel menggantikan buku catatan, dan sentuhan jari menggantikan tulisan tangan. Perubahan ini tak bisa dihindari, tetapi membawa konsekuensi besar.
Gen Z tumbuh di era di mana segala sesuatu serba cepat, serba digital, dan serba terbuka. Dunia maya menjadi “ruang kelas” sekaligus “ruang bermain” mereka. Di satu sisi, mereka menjadi generasi yang paling mudah mengakses informasi sejarah dan ilmu pengetahuan; tetapi di sisi lain, mereka juga menjadi generasi yang paling mudah lupa terhadap makna sejarah itu sendiri.
Mereka tahu nama-nama influencer, tetapi tak lagi mengenal tokoh-tokoh perjuangan bangsanya. Mereka bisa hafal tren challenge di TikTok, namun sulit menyebutkan nama pahlawan lokal di daerahnya. Inilah tantangan sejarah yang sesungguhnya: ketika teknologi tidak lagi menjadi alat kemajuan, tetapi menjadi alat penghapus jejak peradaban.
2. Sejarah yang Terlupakan, Akar yang Tercabut
Dalam setiap peradaban, sejarah berfungsi sebagai akar identitas. Bangsa yang besar selalu menanamkan kesadaran sejarah dalam setiap generasinya. Namun, Gen Z kini hidup di tengah zaman yang serba visual, cepat, dan dangkal. Sejarah yang panjang, kompleks, dan membutuhkan perenungan mendalam sering kali tidak menarik bagi mereka.
Kita menyaksikan bagaimana budaya instan menggantikan nilai ketekunan. Unggahan berdurasi 15 detik lebih digemari ketimbang membaca catatan sejarah perjuangan 15 halaman. Padahal, sejarah tidak bisa dipahami dengan tergesa-gesa; ia menuntut perenungan, pemahaman, dan kesabaran.
Ketika sejarah dilupakan, maka akar peradaban pun tercabut. Lahir generasi yang pintar secara teknologi, tapi miskin makna; hebat berbicara di ruang digital, namun kehilangan kesantunan dan tanggung jawab sosial. Mereka bisa viral dalam semalam, tapi tak tahu untuk apa eksistensinya digunakan.
3. Pergaulan Era Digital: Antara Kebebasan dan Kekacauan Nilai
Era digital memberi ruang pergaulan tanpa batas. Tidak ada lagi tembok geografis, budaya, atau agama yang memisahkan manusia untuk berinteraksi. Namun kebebasan ini membawa dilema moral dan sosial. Banyak anak muda kehilangan batas antara kebebasan berekspresi dan kebablasan perilaku.
Dalam sejarah panjang peradaban Islam dan Nusantara, pergaulan selalu diatur dengan nilai-nilai etika dan adab. Di Aceh, misalnya, pergaulan antar lawan jenis diatur dengan prinsip meupakat, meuhormat, dan meurasa. Dalam peradaban Islam, adab dalam bergaul adalah cermin keimanan. Tapi kini, pergaulan digital seringkali melampaui batas itu: konten pamer tubuh, percakapan tidak sopan, bahkan perilaku yang menormalisasi dosa, menjadi bagian dari “budaya modern”.
Tantangan Gen Z adalah bagaimana menjaga kehormatan dan moralitas di ruang maya, di saat dunia menganggap segalanya boleh asal “trending”. Jika generasi ini tidak punya benteng nilai, maka sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai pembangun peradaban, melainkan perusak warisan moral.
4. Pelajaran dari Sejarah: Teknologi Pernah Menjadi Pedang Bermata Dua
Sejarah sebenarnya sudah mengajarkan: setiap kali manusia menemukan teknologi baru, ia akan menghadapi dilema moral. Ketika mesin cetak ditemukan, ia menyebarkan ilmu, tapi juga propaganda. Ketika televisi muncul, ia mendidik sekaligus membius. Kini, internet dan media sosial menjadi pedang bermata dua: bisa membangun pengetahuan, bisa pula menghancurkan kesadaran.
Generasi Z harus belajar dari sejarah itu. Mereka bukan hanya pengguna teknologi, tetapi pewaris nilai. Dalam sejarah Islam, teknologi selalu diarahkan untuk kemaslahatan: pena untuk menulis ilmu, ilmu untuk menegakkan keadilan, dan keadilan untuk membangun peradaban. Prinsip ini harus dihidupkan kembali di tengah derasnya arus digitalisasi.
Jika tidak, maka Gen Z akan menjadi generasi yang kehilangan arah — mampu menaklukkan dunia dengan algoritma, tapi gagal menaklukkan dirinya sendiri.
5. Menjadi Generasi Sejarah, Bukan Sekadar Pengguna Zaman
Sejarah tidak menunggu. Ia selalu ditulis oleh mereka yang berani bertindak. Generasi Z hari ini punya peluang besar untuk menciptakan sejarah baru: sejarah inovasi, sejarah perubahan sosial, sejarah kebangkitan moral. Namun itu hanya mungkin jika mereka menyadari bahwa sejarah tidak hanya ada di buku, tetapi hidup dalam sikap dan tindakan mereka sehari-hari.
Menjadi generasi sejarah berarti berani berpikir kritis, namun tetap berakar pada nilai. Berani berbeda, tapi tidak kehilangan arah. Berani menguasai teknologi, namun tidak diperbudak olehnya.
Pergaulan digital seharusnya menjadi jembatan untuk memperluas persaudaraan, bukan ajang pamer diri. Media sosial seharusnya digunakan untuk menyebar inspirasi, bukan provokasi. Inilah cara Gen Z menulis sejarahnya sendiri — bukan dengan sensasi, tapi dengan kontribusi nyata.
6. Refleksi: Sejarah Tidak Pernah Mati, Ia Hanya Menunggu Dihidupkan Kembali
Pada akhirnya, sejarah bukanlah cerita masa lalu, tetapi cermin masa depan. Setiap kali kita membaca sejarah, sebenarnya kita sedang membaca diri sendiri: apakah kita akan mengulang kesalahan masa lalu, atau belajar untuk menjadi lebih baik.
Bagi Gen Z, tantangan terbesar bukan sekadar menguasai teknologi, tetapi menjadi manusia yang sadar sejarah dan berakhlak digital. Sebab dunia digital tanpa nilai hanyalah ruang kosong tanpa arah.
Jika generasi ini mampu menggabungkan semangat modernitas dengan nilai sejarah, maka lahirlah peradaban baru: peradaban digital yang beradab. Namun jika tidak, maka dunia hanya akan menyaksikan keruntuhan nilai di tengah kemajuan teknologi.
Penutup
Sejarah adalah guru kehidupan, dan teknologi hanyalah alatnya. Gen Z memiliki kesempatan emas untuk menulis sejarah baru dalam peradaban manusia — bukan dengan tinta, tapi dengan tindakan dan tanggung jawab moral di dunia digital.
Mereka harus belajar dari sejarah, menghormati akar budayanya, dan membangun masa depan dengan kesadaran bahwa setiap klik, setiap unggahan, dan setiap kata yang mereka tulis di ruang maya, akan menjadi jejak sejarah baru umat manusia.
Penulis Azhari