Refleksi Banjir Aceh 2025, Krisis Kepercayaan Rakyat, dan Ancaman Politik Nasional
Kalimat “Bukan tidak mungkin GAM bangkit lagi” dulu terdengar seperti ancaman, lalu menjadi kenangan masa konflik, lalu perlahan hilang setelah penandatanganan MoU Helsinki 2005 yang melahirkan harapan baru. Namun kini, dua puluh tahun setelah perdamaian, kata-kata itu kembali bergema di tengah lumpur banjir Aceh 2025. Teriakan yang dulu dianggap tabu, kini menjadi suara rakyat yang kembali menggugat: “Bukan tidak mungkin GAM bangkit lebih besar dari sebelumnya.”
Bencana banjir yang melanda Aceh dan Sumatra pada akhir 2025 bukan sekadar bencana alam. Ia adalah bencana sosial, politik, dan kemanusiaan. Ia membuka luka lama yang tidak pernah sembuh, memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam melindungi rakyatnya. Ketika ribuan masyarakat terjebak tanpa bantuan, ketika korban berjatuhan dan daerah terisolasi berhari-hari, rasa kecewa berubah menjadi kemarahan. Dan dari kemarahan itulah bendera GAM kembali berkibar di beberapa wilayah Aceh, sebagai simbol bahwa kesabaran rakyat telah berada di ujung batas.
Di tengah kekacauan itu, terdengar suara lantang dari seorang warga korban banjir, yang dengan getir mengatakan:
“Banjir begitu besar, korban di mana-mana, lokasi terisolir, bahkan makan pun kami susah. Tapi kenapa kami seperti dianaktirikan oleh pemerintah? Kenapa tidak ditetapkan sebagai Bencana Nasional? Daripada kami terus dipermainkan, lebih baik kami merdeka.”
Kalimat itu menyentak bangsa. Tidak asal diucapkan, tetapi lahir dari penderitaan dan penghinaan yang dirasakan ribuan warga. Ketika rakyat merasa tidak dianggap sebagai bagian dari negaranya sendiri, maka keinginan untuk berdiri sendiri menjadi pilihan logis.
Saat ini, isu yang muncul bukan lagi sekadar “Aceh merdeka”, tetapi berkembang menjadi gagasan berbahaya:
“Bukan hanya Aceh merdeka — tetapi Sumatra merdeka.”
Dukungan terhadap ide itu kini bukan hanya datang dari Aceh. Krisis keadilan pembangunan dan distribusi ekonomi yang timpang membuat masyarakat di banyak provinsi Sumatra merasa senasib. Dan jika sebuah perlawanan telah menemukan solidaritas regional, maka itu bukan lagi isu lokal — itu adalah ancaman nasional.
Bendera GAM yang Berkibar Kembali: Protes Diam yang Berbahaya
Fenomena pengibaran bendera GAM bukan romantisme masa lalu. Itu adalah ekspresi politik rakyat yang merasa bahwa damai tidak berarti diam, dan damai tidak berarti mengecilkan suara. Bendera itu bukan simbol perang, tetapi simbol protes terhadap:
- Gagalnya negara hadir saat rakyat sekarat
- Kegagalan manajemen bencana di Aceh
- Pengabaian pemerintah pusat terhadap status darurat
- Hilangnya harapan rakyat terhadap elite politik lokal
- Ketimpangan pembangunan yang makin terasa
- Pengkhianatan terhadap amanat MoU Helsinki
MoU Helsinki menjanjikan:
- Keadilan politik
- Otonomi khusus yang kuat
- Kesejahteraan rakyat Aceh
- Pengelolaan sumber daya untuk rakyat
Namun apa yang rakyat lihat?
- Dana Otsus habis tapi rakyat miskin
- Korupsi merajalela
- Infrastruktur gagal total
- Para pejabat sibuk memperkaya diri
- Rakyat menderita dan menjadi korban
Ketika negara gagal menjadi pelindung, maka rakyat menemukan pelindung baru: harapan akan kemerdekaan.
Banjir Aceh 2025: Bencana yang Mengubah Arah Politik
Banjir Aceh bukan sekadar air yang merendam rumah, tetapi tsunami politik yang mengancam stabilitas nasional. Setiap hari rakyat melihat:
- Anak-anak kelaparan
- Orang tua histeris di atas atap menunggu evakuasi
- Para ibu menggendong anak melawan arus banjir
- Warga meninggal karena tidak ada akses bantuan
- Jembatan ambruk, jalan putus, listrik padam
- Bantuan negara terlambat datang
Dalam situasi itu, pemerintah tidak menetapkan status Bencana Nasional. Aceh seolah tidak dianggap penting. Aceh seolah wilayah kelas dua. Aceh seolah bukan bagian dari Indonesia.
Rakyat pun bersuara keras:
“Daripada kami dianaktirikan, lebih baik kami merdeka.”
Itulah kalimat paling berbahaya bagi negara: kalimat yang datang dari rakyat, bukan dari elit politik.
Ketika Negara Tidak Mendengar, Rakyat Mengambil Tindakan
Pemerintah mungkin beranggapan bahwa situasi ini akan mereda seiring waktu. Namun sejarah membuktikan:
- Gerakan besar lahir dari rasa sakit yang diabaikan
- Revolusi lahir ketika rakyat kehilangan harapan
- Pemberontakan lahir bukan karena senjata, tapi karena ketidakadilan
GAM dulu lahir bukan karena rakyat ingin perang, tapi karena rakyat tidak punya pilihan selain melawan. Dan kini sejarah menunjukkan tanda-tandanya kembali.
Hari ini, yang terdengar bukan lagi suara senjata, tetapi suara rakyat yang melawan melalui simbol dan aspirasi. Dan itu lebih berbahaya bagi pemerintah, karena suara rakyat tidak bisa dipenjara.
Bukan Tidak Mungkin GAM Bangkit Lagi
Jika pemerintah terus mengabaikan Aceh dan Sumatra, maka kemungkinan ini nyata:
- Sentimen dukungan rakyat terhadap gerakan merdeka menguat
- Bendera GAM menjadi simbol perlawanan massal
- Generasi muda menjadi mesin penggerak baru
- MoU Helsinki direvisi secara sepihak oleh rakyat
- Solidaritas Aceh – Sumatra – daerah lain terbentuk
- Pemerintah kehilangan legitimasi politik di mata masyarakat
- Gerakan berubah dari simbol menjadi struktur organisasi
Dan ketika semua itu terjadi, bukan lagi pemerintah yang memegang waktu — tetapi rakyat.
Apakah Pemerintah Masih Memiliki Waktu?
Masih. Tetapi tidak banyak.
Untuk menyelamatkan stabilitas politik Indonesia, pemerintah harus segera:
- Menetapkan Banjir Aceh sebagai Bencana Nasional
- Melakukan penanganan cepat dan terukur
- Membuat langkah nyata menyelamatkan rakyat
- Menghentikan pencitraan politik dan mulai bekerja
- Menata ulang penyaluran Dana Otsus secara transparan
- Mengembalikan kepercayaan rakyat kepada negara
Sebab jika terlambat, sejarah akan mencatat bahwa Indonesia runtuh bukan oleh senjata, tetapi oleh ketidakpedulian.
Suara Rakyat Adalah Alarm Terbesar
Opini ini bukan ancaman, bukan agitasi, bukan provokasi. Ini adalah peringatan moral bagi negara. Aceh sudah sangat sabar. Aceh sudah menunggu terlalu lama. Tapi kesabaran ada batasnya.
Kalimat penutup dari pengungsi banjir Aceh menjadi pesan paling tajam:
“Kami bukan ingin istana atau harta, kami hanya ingin dianggap manusia.”
Jika seruan ini terus diabaikan, maka bukan tidak mungkin:
- GAM bangkit lagi
- Bahkan bangkit lebih besar
- Dan bukan hanya Aceh merdeka — tapi Sumatra merdeka
Pertanyaan terbesar hari ini:
Apakah pemerintah mendengar sebelum terlambat?