Jangan Biarkan Hutan Aceh Menangis Lagi
Tahun 2025 adalah tahun yang membuka mata dan menghantam hati. Banjir besar meluluhlantakkan Aceh dari pegunungan hingga kota-kota pesisir, memutuskan jalan raya, merendam ribuan rumah, menenggelamkan sawah, kebun, dan harapan rakyat. Air yang datang tidak membawa kesejukan; ia membawa luka, kemarahan, dan pertanyaan besar: siapa yang paling bersalah?
Bencana ini adalah peringatan keras, bukan sekadar fenomena alam. Bila alam berbicara dengan air, tanah longsor, dan tangis manusia, itu berarti ada dosa besar yang telah manusia lakukan. Dan dosa terbesar itu bernama pengkhianatan terhadap hutan.
Maka, dari tanah Aceh yang sedang menangis, generasi muda 2025 menyampaikan wasiat kepada generasi masa depan:
“Jaga hutan Aceh. Hutan adalah ibu, bukan komoditas. Hutan adalah pelindung, bukan harta rampasan.”
Hutan Aceh: Yang Dahulu Menjaga Kita
Aceh pernah memiliki hutan yang disebut paru-paru Sumatra. Gunung Leuser tak hanya nama geografis, tetapi ruang suci yang melahirkan kehidupan: sungai-sungai besar, mata air jernih, udara bersih, dan keseimbangan ekologi yang menjadi warisan leluhur.
Dulu, nenek moyang berkata:
“Siapa menjaga hutan, akan dijaga kehidupan.”
Tapi hari ini, amanah itu dikhianati:
- Pohon ditebang dengan rakus
- Gunung digali tanpa etika
- Sungai dikotori tambang dan limbah
- Kawasan lindung dijual melalui tanda tangan pejabat
- Hutan adat dirampas atas nama investasi
Maka yang terjadi bukan lagi musibah alam, tetapi pembalasan alam.
Banjir 2025: Surat Peringatan dari Tuhan dan Alam
Banjir ini bukan kebetulan. Ini adalah surat teguran, peringatan, peringatan terakhir agar manusia kembali waras sebelum semuanya terlambat. Air bah bukan datang sendiri. Ia datang karena:
- Akar pohon tidak lagi ada untuk menahan tanah
- Sungai kehilangan ruang karena dirampas beton
- Pegunungan kehilangan penyangga karena digunduli
- Alam dipaksa menyerah demi kepentingan perut dan kekuasaan
Dan ketika air meninggi, barulah manusia bersujud menangis. Ironi paling pahit adalah:
Yang menebang pohon tidak merasakan banjir, tetapi rakyat miskin yang menanggung akibatnya.
Hutan hilang karena keserakahan segelintir orang. Ribuan rakyat menderita karena kesalahan itu. Dimana keadilan?
Wasiat Kami: Jangan Ulangi Kesalahan Ini
Lima puluh tahun ke depan, ketika generasi baru membaca tulisan ini, kami ingin kalian tahu:
Kami menyaksikan hutan ditebang Kami melihat sungai mati perlahan Kami merasakan tanah yang kehilangan kekuatan Kami melihat anak kecil mengungsi di bawah hujan Kami mendengar teriakan ibu yang kehilangan rumah Kami menyaksikan rakyat menjadi korban keputusan politik yang tidak adil
Jangan biarkan anak-anak generasi masa depan berkata:
“Mengapa kalian biarkan hutan hilang?”
Jangan biarkan generasi mendatang hanya melihat hutan lewat foto dan museum.
Hutan bukan warisan dari nenek moyang — hutan adalah titipan untuk anak cucu. Jika titipan itu hilang, kita adalah pencuri masa depan.
Seruan Kepada Pemimpin
Pemimpin sejati bukan dia yang membangun gedung tinggi, tapi dia yang menjaga gunung tetap kokoh.
Pemimpin sejati bukan yang pandai berpidato tentang lingkungan, tapi yang berani menghentikan pembalakan meskipun ancaman datang dari mafia ekonomi.
Pemimpin sejati bukan yang memotong pita peresmian, tapi yang berdiri menghadang alat berat di hutan.
Maka, kepada pemimpin Aceh hari ini, kami berkata:
Jangan jadikan hutan sebagai warisan luka. Jadikan ia warisan kehidupan. Jangan biarkan hutan Aceh hanya menjadi legenda.
Harapan Terakhir: Jika Hutan Hilang, Masa Depan Hilang
Jika hutan hilang:
- Air akan hilang
- Sawah akan kering
- Sungai akan marah
- Tanah akan longsor
- Banjir akan datang setiap tahun
- Rakyat akan hidup dalam ketakutan
Dan yang lebih menakutkan:
Jika hutan hilang, Aceh kehilangan jati diri.
Aceh bukan hanya tanah pejuang, tapi juga tanah penjaga alam. Jika alam rusak, marwah Aceh hilang.
Penutup
Dari lumpur banjir 2025, dari tenda pengungsian yang dingin, dari tangis anak-anak kecil yang kehilangan rumah, dari suara rakyat yang kecewa, kami menulis ini sebagai wasiat terakhir:
Jaga hutan Aceh. Jangan biarkan ia menangis lagi. Jaga hutan Aceh, karena itu menjaga hidupmu sendiri. Jika alam kita selamat, rakyat kita selamat. Jika hutan kita hilang, masa depan kita pun hilang.
Semoga generasi masa depan tidak membaca tulisan ini sebagai ratapan, tetapi sebagai janji perjuangan.