Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

PASUKAN INONG BALEE KEMBALI BERDIRI

Rabu, 10 Desember 2025 | 03:27 WIB Last Updated 2025-12-09T20:27:59Z




Seruan Kemerdekaan dari Tanah Luka pada Milad GAM ke-49

Kamis, 4 Desember 2025 — Sejarah seperti berputar kembali. Pada peringatan Milad GAM ke-49, sekelompok perempuan yang menyebut diri mereka Pasukan Inong Balee, pasukan para janda pejuang, tampil berdiri gagah memegang bendera Bulan Bintang, mengibarkannya tinggi di antara ribuan massa yang hadir. Dengan suara lantang mereka meneriakkan kata-kata yang mengguncang nurani dan menggetarkan jiwa:

“ACEH MERDEKA!”

Seruan itu bukan hanya gema di udara, tetapi guntur yang mengguncang dasar politik nasional. Bukan sekadar ekspresi nostalgia perang, tetapi jeritan hati rakyat yang kecewa, marah, dan merasa dikhianati.

Inong Balee—pasukan perempuan yang pernah menjadi simbol keberanian dan kehormatan Aceh—kembali menunjukkan diri. Mereka dulu memanggul senjata ketika suami mereka gugur di ladang perjuangan. Mereka simbol air mata yang berubah menjadi peluru, kehilangan yang berubah menjadi kekuatan, luka yang berubah menjadi semangat.

Dan kini, mereka kembali memanggul bendera, bukan senjata. Tetapi sinyal politiknya jauh lebih tajam dari peluru manapun.


Kenapa Seruan Merdeka Kembali Menggema?

Dua puluh tahun setelah MoU Helsinki 2005, Aceh yang dijanjikan damai dan sejahtera belum pernah benar-benar hadir. Janji otonomi kuat sebagian besar tinggal paragraf di atas kertas. Harapan rakyat diremukkan oleh kenyataan pahit:

  • Korupsi elit lokal merajalela
  • Dana Otsus habis tanpa masa depan
  • Pengangguran meningkat
  • Hutan dirusak demi politik uang
  • Bencana banjir memiskinkan rakyat
  • Pemerintah pusat dianggap tidak peduli
  • MoU Helsinki banyak yang dilanggar secara politik dan moral

Dan ketika banjir 2025 menghancurkan Aceh, ketika rakyat terjebak tanpa makanan dan listrik, ketika bantuan pemerintah terlambat, ketika status bencana nasional ditolak, rakyat merasa mereka bukan bagian dari NKRI.

Seorang ibu janda korban banjir berkata:

“Negeri ini tidak membutuhkan kami kecuali suara kami saat pemilu. Setelah kami memilih, kami dibuang seperti sampah.”

Kalimat itu lebih mematikan daripada senjata.


Inong Balee: Suara Perempuan Pejuang

Inong Balee telah lama menjadi simbol kehormatan Aceh. Di masa Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati, perempuan Aceh berdiri lebih depan daripada laki-laki. Mereka bukan korban sejarah — mereka pembuat sejarah.

Ketika mereka kembali berdiri memegang Bendera Bulan Bintang pada 4 Desember 2025, dunia harus mengerti:

Ini bukan nostalgia konflik. Ini peringatan terakhir kepada negara. Ini deklarasi kesabaran yang sudah habis.

Perempuan Aceh bukan lagi sekadar saksi penderitaan, tetapi pemilik suara masa depan.

Jika perempuan sudah turun ke gelanggang, jika janda pejuang sudah kembali berseragam, maka politik telah memasuki fase paling serius: rakyat telah kehilangan kepercayaan pada negara.


Apakah Seruan Merdeka Berbahaya?

Seruan itu sangat berbahaya bagi mereka yang tidak mau mendengar rakyat. Dan sangat penting bagi mereka yang ingin menyelamatkan republik dari keruntuhan.

Sejarah dunia menunjukkan:

  • Bangsa merdeka lahir dari ketidakadilan yang tak tertanggungkan
  • Pergerakan besar dimulai dari suara kecil yang diabaikan
  • Perempuan selalu menjadi motor perubahan ketika negara gagal

Ketika massa meneriakkan “Aceh Merdeka”, itu bukan ajakan perang, itu ultimatum politik:

Dengarkan kami, atau kami pergi.


Ancaman Terbesar Bagi Negara Bukan Senjata, Tetapi Ketidakpercayaan

Negara bisa menghadapi senjata, negara bisa melawan pemberontakan, tapi negara akan runtuh kalau rakyat tidak lagi percaya.

Sekarang, yang ditagih rakyat bukan bendera, bukan kekuasaan, bukan jabatan.

Yang ditagih rakyat adalah: keadilan, kehadiran, dan penghormatan.

Jika negara terus menutup telinga, seruan kemerdekaan bukan lagi slogan, tetapi keputusan.


Penutup

Dari panggung Milad GAM ke-49, dari tangan perempuan pejuang yang menggenggam bendera Bulan Bintang, dari suara massa yang menggema bagai gelombang tsunami politik, kita mendengar wasiat yang tidak boleh diabaikan:

“Kami bukan minta istana. Kami hanya minta martabat.” “Jika martabat tidak lagi dihargai, lebih baik kami berdiri sendiri.”

Dan ketika Pasukan Inong Balee berteriak:

“ACEH MERDEKA!”

Mereka tidak sedang mengajak perang, mereka sedang mengingatkan sejarah, bahwa bangsa yang tidak dihargai akan memilih jalannya sendiri.


Pertanyaan besar hari ini bukan: apakah Aceh bisa merdeka?

Pertanyaannya adalah: apakah negara masih mau mendengar sebelum semuanya terlambat?