Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

REFLEKSI MUSIBAH BANJIR 26 SEPTEMBER 2025 DI BIREUEN DAN ACEH

Kamis, 04 Desember 2025 | 02:20 WIB Last Updated 2025-12-03T19:20:44Z


“Air Mengajarkan Kita tentang Arah dan Kesalahan: Refleksi untuk Bireuen dan Aceh”

Musibah banjir yang kembali melanda pada 26 September 2025 menyisakan luka, kemarahan, dan kelelahan sosial yang seakan tidak pernah benar-benar sembuh. Dari Peudada sampai Makmur, dari Gandapura hingga Jeunieb, air bah merendam rumah, sekolah, ladang, dan mimpi masyarakat. Banjir bukan lagi kejadian tahunan—ia telah menjelma menjadi simbol kegagalan tata kelola lingkungan dan pemerintahan yang tidak belajar dari kesalahan.

Ini bukan lagi soal curah hujan tinggi. Ini tentang ketidakmampuan kita membaca tanda zaman.

Banjir yang Berulang, Kesalahan yang Sama

Setiap kali bencana datang, pejabat sibuk memegang mikrofon, berdiri depan kamera, memberi janji dan pernyataan heroik. Bantuan datang sebagai ritual tahunan, bukan sebagai solusi jangka panjang. Masyarakat dipaksa kuat, dipaksa sabar, dipaksa menerima takdir yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Banjir 26 September 2025 harus dibaca sebagai peringatan keras: bahwa menangani bencana bukan hanya tentang mengevakuasi korban atau menyalurkan sembako, tetapi membangun sistem perlindungan yang permanen dan ilmiah.

Tiga Akar Masalah yang Tak Pernah Disentuh

  1. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Penebangan hutan terus meluas tanpa kontrol. Sungai tidak lagi mampu menampung air karena sedimentasi meningkat tajam. Tanpa reboisasi dan pengawasan tegas, banjir hanya menunggu waktu.

  2. Perencanaan Tata Ruang yang Amburadul Banyak pemukiman dibangun di daerah rawan banjir, rawa, dan jalur resapan air. Ketika hujan turun deras, ke mana lagi air harus pergi?

  3. Lemahnya Koordinasi Penanggulangan Bencana BPBD seperti pemadam kebakaran yang datang setelah api membesar, bukan pencegah kebakaran. Manajemen bencana tidak boleh bekerja hanya ketika sirene berbunyi.

Belajar dari Rasa Sakit

Masyarakat yang kehilangan rumah bukan hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi kehilangan rasa aman. Petani yang gagal panen bukan hanya rugi uang, tetapi kehilangan masa depan. Anak muda yang mengungsi bukan hanya meninggalkan sekolah, tetapi meninggalkan ruang tumbuh.

Banjir menjadikan orang miskin semakin miskin, dan pemerintah semakin terlihat tidak hadir.

Dan yang paling pedih: setiap tahun kita mengulang adegan yang sama, seolah tidak ada pelajaran.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah

Bireuen dan Aceh memerlukan langkah yang tegas dan strategis, bukan sekadar respons darurat:

Solusi Jangka Pendek Solusi Jangka Panjang
Pembersihan sungai, normalisasi saluran, pengerukan sedimentasi Reboisasi massif dan penegakan hukum lingkungan
Data terpadu wilayah rawan banjir berbasis digital Rencana tata ruang berbasis kajian bencana
BPBD harus dipimpin profesional sesuai keahlian Pembangunan bendungan kecil, embung desa dan sistem mitigasi ilmiah
Pelatihan masyarakat desa siaga bencana Kurikulum edukasi lingkungan di sekolah

Penempatan pejabat juga harus dikelola dengan ilmu, bukan balas jasa politik. Bupati ke depan harus berani memilih pemimpin BPBD yang ahli, bukan hanya yang dekat. Bencana tidak bisa diurus oleh ketidakmampuan.

Musibah sebagai Cermin

Air bukan datang untuk menghancurkan—ia datang untuk mengingatkan kita tentang kesalahan yang disembunyikan. Musibah banjir 26 September 2025 adalah cermin paling jujur bahwa:

  • Kita terlalu lama menunda keputusan penting
  • Kita terlalu lama menukar masa depan dengan kepentingan politik dan ekonomi sesaat
  • Dan kita terlalu sering menunggu tragedi sebelum bergerak

Jika kita tidak berubah hari ini, maka tahun depan kita tidak bisa lagi menyebut banjir sebagai musibah—tetapi sebagai kelalaian bersama.

Mari berhenti berdebat siapa yang harus disalahkan, dan mulai bertanya: apa yang harus diperbaiki?
Karena air tidak memilih korban.
Ia hanya mengikuti jalur alam yang kita rusak dengan tangan kita sendiri.

Semoga ini bukan sekadar opini, tetapi pemantik kesadaran:
bahwa masa depan Aceh bergantung pada keberanian kita menghentikan siklus bencana yang kita ciptakan sendiri.


Penulis Azhari